Oleh Drs A Soerjowardhana
Dosen FIB Udinus, Rotarian
TRIBUNJATENG.COM -- Manusia perlu makan sebagai salah satu syarat untuk menyambung hidup. Namun pernahkah kita sadari bahwa setelah makan seringkali kita menyisakan makanan di piring kita. Dari data Food Sustainabilty Indeks 2016-2017 terungkap bahwa secara internasional Indonesia menempati posisi kedua dari bawah dengan setiap orang menyisakan makanan sebanyak 300 kilogram untuk kurun waktu selama satu tahun.
Bahkan data dari International Food Research Institute (IFPRI) mengatakan bahwa Indonesia mempunyai Global Index sebesar 21.9 persen, dan ini termasuk dalam kategori serius. Dapat disimpulkan bahwa sepertiga dari seluruh makanan yang diproduksi di Indonesia sebanyak 1,3 tonterbuang sia-sia setiap tahunnya. (Jawa Pos, 27 Juli 2018). Sungguh memprihatinkan memang, karena di sisi lain masih ada saudara-saudara kita yang kelaparan karena kesulitan makan. Melihat kenyataan yang ada, bagaimana kita menyikapi situasi ini?
Ada berbagai kelompok masyarakat maupun organisasi sosial yang telah bergerak untuk mengumpulkan makanan yang tersisa. Mereka mengemas ulang makanan yang masih layak dikonsumsi dengan cara mengambil dari beberapa tempat makan seperti kantin, rumah makan, kafe, maupun warung tegal. Makanan tersebut kemudian dibagikan kepada mereka yang membutuhkan seperti tukang becak, anak jalanan, rumah singgah, dan sebagainya. Bahkan salah satu organisasi sosial yakni Rotary Club Semarang (RCS) Pandawa memiliki program sosial Food Share (berbagi makanan) dengan menggandeng Event Organizer yang menyelenggarakan resepsi atau pesta pernikahan.
Dari pengalaman yang ada, hampir semua pesta tersebut ada “kelebihan” (untuk tidak mengatakan “ada sisa”) makanan yang berlimpah. Kelebihan makanan tersebut hampir pasti dibuang bila tidak ada yang memanfaatkannya. Oleh RCS Pandawa kelebihan makanan tersebut kemudian dikemas secara menarik & higienis dan diberikan kepada kepada mereka yang membutuhkan seperti tukang becak, tukang parkir, anak jalanan, pemulung atau disalurkan ke panti asuhan, panti sosial, bahkan asrama mahasiswa.
Aktivitas seperti itu membutuhkan rasa solidaritas dan kepedulian sosial dari mereka yang mampu melihat peluang dan mau meluangkan waktu untuk berbagi pada sesama yang memerlukan. Mampu melihat kenyataan bahwa banyak makanan layak saji yang berpotensi untuk dibuang padahal masih sangat bermanfaat. Mau bersusah payah menyisihkan waktu untuk mengumpulkan “kelebihan” makanan dan membagikannya kepada yang membutuhkan.
Marilah kita mulai dari diri kita sendiri untuk melakukan gerakan “Stop Buang Makanan”. Bila mengambil makanan hendaknya secukupnya saja, jangan “lapar mata”. Lebih baik menambah lagi dari pada menyisakan makanan. Ini selaras dengan Waste4Change, sebuah organisasi peduli lingkungan, yang mengajak kita untuk “makan bijak” guna mengurangi sampah dan limbah organik makanan.
Bila membeli makanan tetapi porsinya terlalu banyak, lebih baik disisihkan terlebih dahulu agar bisa dimanfaatkan orang lain. Bila memasak hendaknya kreatif. Masaklah bahan makanan sesuai dengan keperluan. Semaksimal mungkin manfaatkan bagian-bagian dari bahan makanan yang seringkali hanya dibuang. Olah kembali makanan yang tidak habis. Ingat bahwa “Membuang makanan sama dengan mencuri dari meja mereka yang miskin dan kelaparan” (Paus Fransiskus). (*)
http://jateng.tribunnews.com/2019/02/15/opini-a-soerjowardhana-membuang-makanan-mencuri-hak-orang-miskinBagikan Berita Ini
0 Response to "OPINI A Soerjowardhana : Membuang Makanan: Mencuri Hak Orang Miskin - Tribun Jateng"
Post a Comment