Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menekankan pentingnya sertifikasi dan traceablity (ketertelusuran) produk perikanan Indonesia, terutama tuna dapat lebih kompetitif dengan produk perikanan luar negeri. Hal tersebut merupakan salah satu poin hasil dari 3rd Bali Tuna Conference yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 31 Mei-1 Juni 2018.
"Indonesia dalam Bali Tuna Conference ini berbicara tentang menuju kepada sertifikasi supaya produk kita ini lebih kompetitif. Dari Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing menuju ke Legal Reported Regulated Fishing. Di mana dari sertifikasi ini, tuna Indonesia bisa mendapatkan harga premium sehingga bisa berkompetisi di pasaran dunia," ungkap Susi pada Minggu 3 Juni 2018.
Selain sertifikasi, Susi juga meminta kepada pengusaha dan stakeholder perikanan agar dapat menjaga traceability dari produk perikanan yang dihasilkan. "Pengusaha-pengusaha dunia harus bisa menjaga traceability. Sertifikasi juga jangan lupa. Karena tanpa sertifikasi, transaksi jual beli itu sangat sulit, bahkan tidak bisa," lanjutnya.
Dalam Bali Tuna Conference, Indonesia juga menyampaikan tentang penolakan produk perikanan yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia di dalamnya. Di mana produk perikanan harus bersih dari tindak perbudakan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
"Kita sudah compliance dengan human rights. Itu juga salah satu persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi premium. Jadi dunia ini sudah peduli dengan keberlanjutan, dunia ini sudah peduli dengan human rights. Kita tidak boleh lagi melakukan sebuah industri dengan manajemen semau kita. Aturan dunia, standar dunia. Dan kita semua sudah mengarah ke yang lebih baik yaitu sustainability," tegas Susi.
Pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi prioritas pengelolaan perikanan tuna yang berfokus pada data produksi ikan tuna. Selain itu juga meningkatkan sistem registrasi kapal tuna khususnya untuk perairan kepulauan, pengembangan dan implementasi sistem pemantauan elektronik dan sistem pelaporan untuk mengatasi masalah ketertelusuran tuna dan pengembangan peraturan terkait manajemen tuna.
"Dan kita berharap, leadership kita juga diikuti oleh negara lain. Karena tuna itu resource dunia bukan cuma milik Indonesia. Tapi juga milik negara lain. Sehingga bangsa lain juga bisa belajar dari kita. Laut kita jaga, semua kita dapat. Itu pesannya, bahwa ekspolitasi hasil alam yang benar ya menjaga keberlanjutan dan supaya terus ada dan banyak. Kalau ada tapi sedikit, itu tidak cukup untuk industri, untuk bisnis," jelas Susi.
"Ternyata tuna, dengan sebuah kebijakan yang benar, dapat ditangkap oleh semua nelayan. Sekarang tuna bukan milik kapal-kapal long liners besar, bukan hanya milik kapal-kapal long liners asing, tetapi juga oleh nelayan Jembrana, oleh nelayan Banda Naira, oleh nelayan NTT, nelayan Sendang Biru, semua bisa dapat tuna. Besar-besar ukurannya dan dekat, tidak usah jauh-jauh ke tengah laut," Susi Pudjiastuti menambahkan.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3864224/pemilik-restoran-sushi-ini-beli-tuna-seharga-rp-44-miliar-kemahalanBagikan Berita Ini
0 Response to "Pemilik Restoran Sushi Ini Beli Tuna Seharga Rp 44 Miliar, Kemahalan?"
Post a Comment