
INDOPOS.CO.ID - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) menanjak signifikan sepanjang perdagangan kemarin. Rupiah tidak pernah menyentuh zona merah dan menjadi mata uang dengan penguatan terbaik di Asia. Itu terjadi setelah rupiah mengaut 0,74 persen menjadi Rp 14.675 per USD.
Sejatinya, rupiah selalu menguat alias tidak pernah merasakan territorial negatif. Dibuka menguat 0,3 persen, rupiah terus menanjak sehingga mencapai 0,37 persen. Apresiasi rupiah sempat terhambat dan terkikis usai rilis neraca perdagangan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan ekspor Oktober 2018 tumbuh 3,59 persen year-on-year (Yoy) dan impor melonjak 23,66 persen Yoy. Itu artinya, neraca perdagangan defisit mencapai USD 1,82 miliar.
Data itu jauh dari konsensus pasar yang mengestimasi neraca perdagangan Oktober hanya defisit USD 62,5 juta. Ekspor diramal tumbuh dalam kisaran terbatas 1,4 persen Yoy, dan impor diproyeksikan masih tumbuh 10 persen. Rupiah kemudian menanjak setelah pengumuman suku bunga acuan. Bank Indonesia (BI) memutuskan menaikkan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6 persen.
Selain itu, suku bunga deposit facility 25 bps menjadi 5,25 persen, dan suku bunga lending facility 25 bps menjadi 6,75 persen. Dengan begitu, sepanjang tahun ini, BI telah menaikkan suku bunga 6 kali sebesar 175 bps. Keputusan menaikkan suku bunga acuan sebagai langkah lanjutan BI memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke batas aman. ”Kebijakan itu juga untuk memperkuat daya tarik aset keuangan domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan,” tutur Gubernur BI Perry Warjiyo.
Untuk meningkatkan fleksibilitas dan distribusi likuiditas perbankan, BI menaikkan porsi pemenuhan giro wajib minimum (GWM) rupiah rerata (konvensional dan syariah) dari 2 persen menjadi 3 persen. Lalu mendongkrak rasio penyangga likuiditas makroprudensial (konvensional dan syariah) dapat direpokan ke BI dari 2 persen menjadi 4 persen, masing-masing dari Dana Pihak Ketiga (DPK).
Di bidang kebijakan makroprudensial, BI juga mempertahankan rasio countercyclical capital buffer (CCB) sebesar 0 persen dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada target 80-92 persen. Selanjutnya, BI akan mengoptimalkan bauran kebijakan untuk memastikan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. BI juga akan memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal. ”Termasuk mengendalikan defisit transaksi berjalan sehingga menurun menuju kisaran 2,5 persen PDB tahun depan,” imbuh Perry.
Menurutnya, bauran kebijakan BI dan pemerintah diyakini akan dapat mengelola dampak perubahan ekonomi global sehingga perekonomian tetap berdaya tahan di tengah ketidakpastian global. Untuk mendorong lebih lanjut pendalaman pasar keuangan, khususnya rupiah, BI menerbitkan aturan transaksi derivatif suku bunga rupiah, yaitu Interest Rate Swap (IRS) dan Overnight Index Swap (OIS). Aturan itu dapat memperkaya alternatif instrumen lindung nilai terhadap perubahan suku bunga domestik. ”Kebijakan itu diharap mendukung pembentukan yield curve lebih transparan di pasar uang dan pasar utang. Selanjutnya, memperkuat transmisi kebijakan moneter dan mendorong berkembangnya pasar surat utang, baik diterbitkan pemerintah dan korporasi,” ucapnya.
Sementara itu, Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono mengapresiasi langkah BI menaikkan suku bunga acuan menjadi 6 persen. ”Jadi, langkah BI itu psoitif,” jelas Tony. The Fed bilang Tony, sudah menaikkan Fed Fund Rate (FFR) dari terendah 0,25 persen hingga menjadi 2,25 persen. Berarti naik 2 persen. (dai)
TOPIK BERITA TERKAIT:
#nilai-tukar-rupiah-terhadap-dolar-amerika-serikat
https://www.indopos.co.id/read/2018/11/16/155796/positif-rupiah-terbaik-asia
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Positif, Rupiah Terbaik Asia"
Post a Comment