KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit tertekan pada kuartal-I 2019. Sentimen negatif masih mewarnai pasar CPO di awal tahun. Pasalnya perang dagang (AS) dan China, Brexit serta kampanye hitam CPO masih bergejolak.
Mengakhiri kuartal-I lalu harga CPO kontrak pengiriman Juni 2019 di Malaysia Derivative Exchange melemah 3,96% di level RM 2.106 per metrik ton pada Jumat (29/3).
Direktur Utama PT Garuda Berjangka, Ibrahim mengatakan, China memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 6%-6,5%. Angka ini lebih rendah dari tahun sebelumnya yang berada di level 6,6%, bahkan akan jadi yang terendah selama 28 tahun ke belakang. “Sehingga, China sebagai negara importir CPO kehilangan daya untuk melakukan pembelian CPO,” kata Ibrahim kepada Kontan.co.id, Jumat (5/4).
Perlambatan ekonomi diramal juga akan terjadi di Inggris dan Uni Eropa. Sebab, proposal Brexit masih berlarut-larut. Meskipun sudah melakukan tiga kali voting di kuartal-I belum ada kesepakatan pasti antara Inggris dan Uni Eropa.
Ibrahim mengatakan, Brexit yang molor menyebabkan situasi ekonomi di sana menjadi melemah, karena sejumlah poin penting dalam proposal tersebut juga menyangkut keberlangsungan ekonomi mereka. Presiden European Central Bank (ECB), Mario Draghi beberapa waktu lalu menyampaikan pidato terkait penurunan ekonomi Zona Euro yang telah meningkat.
Harga minyak sawit terjerembab karena kampanye hitam Uni Eropa. Meski sudah berlangsung sejak beberapa tahun silam, ternyata sentimen ini masih memengaruhi harga CPO dan menghambat laju ekspansi pasar.
Kata Ibrahim dampak kampanye hitam membuat para spekulan ketakutan masuk ke CPO. Rumor yang beredar, ladang pertanian minyak sawit di Indonesia khususnya di Sumatra dan Kalimantan merupakan kawasan ilegal. Menurut Eropa, kawasan tersebut merupakan hutan lindung yang bila terus dipangkas untuk lahan sawit membuat pemanasan global.
“Uni Eropa terdiri dari 27 negara, sangat besar makanya kampanye hitam jadi sangat berpengaruh terhadap pergerakan harga CPO,” tutur Ibrahim. Ia menjelaskan monopoli perdagangan menjadi arah Uni Eropa dalam menyikapi CPO. Eropa akan merasa terancam jika minyak sawit masuk ke dalam pasar Eropa.
Benua Biru ini pada dasarnya sudah memiliki minyak olahan unggulan, seperti minyak babi, minyak kedelai, dan minyak bunga-bungaan. Jika minyak sawit masuk ke sana maka akan menggerus pasar minyak olahan Eropa tersebut.
Menurut Ibrahim sentimen CPO murni karena geopolitik bukan terkait supply dan demand minyak sawit. Sebab, impor terbesar CPO berasal dari China, India, dan Jepang yang dinilai masih cukup positif. Selain itu, produksi CPO di Malaysia dan Indonesia juga masih kompetitif.
Jika situasi geopolitik membaik dari perang dagang AS-China dan Brexit pada kuartal kedua ini, maka harga CPO berpeluang naik. Di sisi lain, impor Jepang saat ini sudah mencapai 80% dari total penggunaan minyak olahan. Tapi, impor di India sepertinya akan terkoreksi sedikit sebab akan melakukan peta demokrasi.
Indonesia sebenarnya telah meluncurkan program B20. Tapi, mengingat Indonesia pun akan menjalankan pemilihan presiden jadi program ini belum bisa menstimulus CPO.
Sementara, produksi minyak sawit Malaysia akan meningkat. Ibrahim meramal, harga rata-rata CPO pada kuartal-II berada di kisaran rata-rata RM 2.262 per metrik ton. Sementara rentang pergerakannya antara RM 2.1750-RM 2.350 per metrik ton.
Editor: Wahyu Rahmawati
Editor: Wahyu Rahmawati
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Geopolitik menekan harga CPO melorot pada kuartal pertama"
Post a Comment