Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akhirnya rilis aturan ojek online yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor untuk Kepentingan Masyarakat.
Aturan tersebut ditetapkan dan diundangan pada 11 Maret 2019 oleh Kementerian Hukum dan HAM. Ada 8 bab dan 21 pasal dalam aturan itu.
Akan tetapi, aturan tersebut belum memaparkan tarif. Rencananya soal tarif masuk dalam aturan turun.
Ketua YLKI, Tulus Abadi menuturkan, persoalan tarif memang hal paling sensitif untuk ojek online (ojol). Ini lantaran tarif 100 persen ditentukan oleh aplikator, sebagai pengelola dan penyedia aplikasi ojek online. Pemerintah tidak dan belum intervensi sama sekali, baik masalah tariff dan operasional ojek online.
Akan tetapi, Tulus mengatakan, dengan masifnya ojek online, mau tidak mau pemerintah sebagai regulator harus ikut intervensi dalam segala hal.
"Bisnis proses ojek online memang unik, di satu sisi driver sebagai pemilik alat produksi (sepeda motor), namun di sisi lain perusahaan aplikatorlah yang menentukan segalanya, termasuk dalam hal tarif,” demikian seperti dikutip dari tulisannya, Sabtu (23/3/2019).
Ia menuturkan, driver sebagai garda terdepan tidak pernah diajak bicara untuk menentukan berapa biaya operasional yang sebenarnya. Demikian juga tidak pernah melibatkan keterwakilan konsumen terutama dalam menentukan standar pelayanan yang ditetapkan.
"Jika hal ini dibiarkan, dalam arti tidak ada keterlibatan pemerintah, memang potensi terjadi pelanggaran, baik pelanggaran kepada hak driver dan atau pelanggaran terhadap hak konsumen," kata dia.
Ia menuturkan, jika terkait tarif untuk komoditas publik, parameter yang ideal tentu memperhatikan dua hal. Antara lain memperhatikan kepentingan konsumen sebagai pengguna, dan operator sebagai penyedia jasa.
Tulus menilai, ada dua aspek yang perlu diperhatikan untuk perspektif pengguna. Pertama, aspek ability to pay atau aspek keterjangkauan dan kemampuan membayar konsumen. Ditambah aspek willingness to pay atau aspek pelayanan.
"Kedua aspek ini sejatinya berkelindan, tak bisa dipisahkan. Selain itu, tarif juga harus memperhatikan kepentingan operator, jangan sampai tarif terlalu tinggi dan atau terlalu rendah, sehingga keberlanjutan operator bisa terjaga. Tarif yang terlalu tinggi akan melanggar hak konsumen, tetapi tarif terlalu rendah akan mematikan pelaku usaha," ujar dia.
Oleh karena itu, desakan driver ojol untuk meminta kenaikan tarif batas atas, secara rasional dan operasional menurut Tulus bisa dimengerti. Namun desakan driver untuk meminta kenaikan tarif batas atas, sepertinya masih berat, karena “dihadang” oleh pihak aplikator.
Intinya aplikator tidak setuju atas usulan oleh driver untuk minta kenaikan tarif guna menutup biaya operasional. Mereka, driver ojol, meminta kenaikan tarif per km menjadi Rp 3.200, dari semula Rp 1.200 per km. Pihak aplikator tampak keberatan dengan usulan dari driver ini.
"Usulan kenaikan tarif yang terlalu tinggi justru dianggap akan mematikan eksistensi driver ojol, karena permintaan konsumen terhadap ojol akan turun. Bahkan pihak perusahaan aplikator pun melakukan sebuah survei, bahwa kenaikan tarif ojol akan menurunkan 72 persen kepeminatan konsumen untuk naik ojek online," kata dia.
Ia menambahkan, tuntutan kenaikan tarif ini bisa disikapi dari berbagai aspek. Jika dari aspek pengguna, tuntutan driver untuk kenaikan tarif batas atas adalah terlalu tinggi. Mereka mengusulkan kenaikan hingga Rp 3.200 per km.
Usulan kenaikan sebesar itu, dengan asumsi, bahan bakar yang digunakan driver adalah terlalu tinggi.
"Jika usulan kenaikan yang dipatok sebesar Rp 3.200, lalu apa bedanya ojol dengan taksi online? Padahal, dengan besaran seperti itu, jika konsumen menggunakan taksi online, akan lebih banyak mendapatkan fasilitas yang jauh lebih baik dan lebih safety daripada sepeda motor. Oleh karena itu, usulan Rp 3200 per km adalah kelewat tinggi. Namun, sikap perusahaan aplikator yang 100 persen menolak usulan driver untuk minta naik tarif, juga sikap yang arogan dan jemawa. Apalagi menurut berbagai analisa, dan juga survei (salah satunya dilakukan oleh INSTRAN), bahwa posisi driver sangat terjepit dan praktiknya cenderung eksploitatif," kata Tulus.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3924355/usul-ylki-soal-penetapan-tarif-ojek-onlineBagikan Berita Ini
0 Response to "Usul YLKI soal Penetapan Tarif Ojek Online"
Post a Comment