Tanggal 5 November 2018, kandidat presiden petahanan Indonesia Joko “Jokowi” Widodo merilis pernyataan yang mengklaim bahwa tingkat kemiskinan di pedesaan Indonesia telah menurun dua kali lipat dari tingkat kemiskinan kota. Tetapi apakah pernyataan itu benar adanya? The Conversation meminta dua peneliti ekonomi Indonesia untuk menguji data tersebut.
Oleh: Ridho Al Izzati dan Teguh Dartanto (The Conversation)
The Conversation menghubungi Kantor Staf Kepresidenan untuk mengonfirmasi dan meminta penjelasan atas klaim Jokowi. Mereka menjelaskan bahwa pernyataannya dibuat berdasarkan data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, mengutip laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang tingkat kemiskinan dari bulan Maret 2017 hingga tahun 2018.

Data menunjukkan penurunan kemiskinan di daerah pedesaan di Indonesia. (Foto: BPS 2018)
Untuk memverifikasi akurasi klaim Jokowi, The Conversation bertanya kepada peneliti ekonomi Ridho Al Izzati dari Lembaga Penelitian SMERU.
Analisis oleh Ridho Al Izzati
Sebelum menguji klaim itu, pertama-tama, kita harus memahami indikator yang digunakan pemerintah Indonesia untuk mengukur kemiskinan. Langkah-langkah ini diperkenalkan oleh ekonom James Foster, Joel Greer, dan Erik Thorbecke pada tahun 1984 untuk menghitung tingkat kemiskinan.
Indikator-indikator tersebut meliputi:
- Tingkat kemiskinan merupakan prosentase orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dibandingkan dengan total penduduk. Dari indikator ini kita bisa mengetahui jumlah orang miskin.
- Tingkat kesenjangan kemiskinan mengukur seberapa jauh tingkat pendapatan penduduk yang miskin dibandingkan dengan garis kemiskinan. Indikator ini diukur dengan menghitung jarak rata-rata antara pendapatan orang miskin dan garis kemiskinan. Semakin jauh mereka dari garis kemiskinan, semakin miskin mereka.
- Tingkat keparahan kemiskinan mengukur ketimpangan pendapatan di antara orang miskin. Indikator ini adalah rata-rata kesenjangan kemiskinan kuadrat. Perhitungan ini dibuat untuk mengidentifikasi distribusi pendapatan di antara orang miskin dan seberapa jauh orang-orang yang paling miskin dari orang-orang yang paling dekat dengan garis kemiskinan.
Meskipun BPS menggunakan ketiga indikator tersebut untuk mengukur kemiskinan, pendekatan pertama paling sering digunakan karena dianggap paling mudah dan paling populer di antara para pembuat kebijakan.
Jika kita menggunakan ketiga pendekatan itu untuk mengevaluasi pernyataan Jokowi, pernyataannya tidak persis akurat. Meskipun perhitungan jumlah orang miskin bersama dengan kedalaman dan tingkat keparahan kemiskinan sudah benar, prosentase orang miskin masih tidak akurat.
Prosentase kemiskinan pedesaan pada bulan Maret 2017 sekitar 13,93 persen dan pada bulan Maret 2018 menjadi 13,2 persen. Ini berarti tingkat kemiskinan pedesaan turun 0,73 poin. Pada saat yang sama, tingkat kemiskinan perkotaan menurun sebesar 0,7 poin dari 7,72 persen pada bulan Maret 2017 menjadi 7,02 persen pada bulan Maret 2018. Dengan demikian, tidak ada perbedaan prosentase yang signifikan antara penurunan tingkat kemiskinan di kota dan daerah pedesaan.
Jumlah orang miskin di desa-desa menurun 1,29 juta dari 17 juta orang pada bulan Maret 2017 menjadi 15,8 juta orang pada bulan Maret 2018, sementara jumlah orang miskin di perkotaan menurun sebanyak 500 ribu orang dari 10,6 juta pada bulan Maret 2017 menjadi 10,1 juta pada bulan Maret 2018. Jadi, memang benar bahwa pengurangan jumlah orang miskin di daerah pedesaan adalah dua kali lipat jumlah orang miskin di perkotaan.
Selain itu, tingkat kesenjangan kemiskinan pedesaan telah menurun sebesar 0,12 poin dari 2,49 persen pada bulan Maret 2017 menjadi 2,37 persen pada bulan Maret 2018. Tingkat kemiskinan perkotaan menurun 0,07 poin dari 1,24 persen pada bulan Maret 2017 menjadi 1,17 persen pada bulan Maret 2018. Ini berarti bahwa tingkat kesenjangan kemiskinan pedesaan menurun hampir dua kali lipat laju penurunan tingkat kedalaman kemiskinan di kota.
Untuk tingkat keparahan kemiskinan, angka-angka dari daerah pedesaan mengalami penurunan sebesar 0,04 poin dari 0,67 persen pada bulan Maret 2017 menjadi 0,63 persen pada bulan Maret 2018. Di daerah perkotaan, tingkat keparahan kemiskinan telah menurun sebanyak 0,02 poin dari 0,31 persen pada bulan Maret 2017 menjadi 0,29 persen pada bulan Maret 2018. Ini menyiratkan bahwa penurunan tingkat kemiskinan pedesaan dua kali lebih banyak daripada di kota.
Meskipun sebagian besar pernyataan Jokowi dapat dikatakan valid secara statistik, jika kita bertujuan untuk menilai pencapaiannya dalam memberantas kemiskinan, akan lebih baik untuk mengukur ini dari awal pemerintahannya, dari bulan September 2014 hingga Maret 2018 (data terbaru tersedia).
Jadi, penulis menawarkan analisis tambahan tentang tingkat kemiskinan Indonesia sejak awal masa jabatan kepresidenan Jokowi. Analisis penulis berdasarkan data yang diberikan oleh BPS menunjukkan fakta yang berbeda.
Ketika kita melihat periode antara bulan September 2014 dan Maret 2018, penurunan prosentase kemiskinan perkotaan sebenarnya lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah di pedesaan.
Tingkat kemiskinan pedesaan pada bulan September 2014 (sebulan sebelum pelantikan Jokowi) adalah 13,76 persen. Jika kita membandingkan ini dengan angka-angka dari bulan Maret 2018, angka itu berkurang sebanyak 0,56 poin.
Selama periode yang sama, tingkat penurunan kemiskinan perkotaan sebenarnya lebih tinggi daripada tingkat pedesaan. Tingkat kemiskinan perkotaan menurun 1,14 poin dari 8,16 persen pada bulan September 2014 menjadi 7,02 persen pada bulan Maret 2018.
Grafik 1: Prosentase kemiskinan antara bulan September 2014 dan Maret 2018. Selama periode ini, tingkat kemiskinan mengalami peningkatan pada bulan Maret 2015 tetapi terus menurun sejak saat itu.
Prosentase penduduk miskin

(Data: via The Conversation)
Namun, penurunan jumlah penduduk miskin di desa-desa memang lebih besar daripada di kota-kota selama masa Jokowi menjabat sebagai presiden.
Selama era pemerintahan Jokowi, jumlah orang miskin yang tinggal di daerah pedesaan menurun sebanyak 1,5 juta orang dari 17,3 juta pada bulan September 2014 menjadi 15,8 juta pada Maret 2018.
Selama rentang waktu yang sama, jumlah orang miskin di kota menurun sebanyak 200 ribu orang dari 10,3 juta menjadi 10,1 juta.
Grafik 2: Jumlah orang yang terkena kemiskinan dari bulan September 2014 hingga Maret 2018. Jumlah ini naik sebentar pada bulan Maret 2015. Setelah itu, menurun sebelum naik kembali padabulan September 2016 hingga Maret 2017. Sebaliknya, jumlah orang miskin hanya naik di bulan Maret 2015 dan terus menurun secara signifikan sesudahnya.
Jumlah orang miskin

(Data: via The Conversation)
Untuk tingkat kesenjangan kemiskinan selama pemerintahan Jokowi, jumlah sebenarnya di pedesaan meningkat sebesar 0,12 poin dari 2,25 persen menjadi 2,37 persen.
Angka perkotaan untuk kesenjangan kemiskinan menurun 0,08 poin dari 1,25 persen pada bulan September 2014 menjadi 1,17 persen pada Maret 2018.
Grafik 3: Kesenjangan kemiskinan.
Kesenjangan kemiskinan

(Data: via The Conversation)
Kecenderungan serupa, di mana tingkat penurunan angka kemiskinan di kota-kota lebih tinggi daripada di desa-desa, juga terjadi dalam tingkat keparahan kemiskinan. Tingkat keparahan kemiskinan pedesaan telah meningkat 0,06 poin dari 0,57 persen pada bulan September 2014 menjadi 0,63 persen pada Maret 2018. Tingkat keparahan kemiskinan perkotaan menurun 0,02 poin dari 0,31 persen pada bulan September 2014 menjadi 0,29 persen pada Maret 2018.
Grafik 4: Tingkat keparahan kemiskinan.
Tingkat Keparahan Kemiskinan

(Data: via The Conversation)
Analisis di atas dilakukan dengan mempertimbangkan kesejahteraan penduduk yang dinamis. Rumah tangga dapat keluar dari kemiskinan pada tahun tertentu tetapi kapan saja dapat kembali ke kemiskinan. Fenomena ini dikenal sebagai kerentanan.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa merupakan suatu tindakan yang valid untuk mengatakan bahwa antara bulan Maret 2017 dan Maret 2018 terjadi penurunan jumlah orang miskin di daerah pedesaan dengan lebih besar daripada di kota. Namun prosentase tingkat kemiskinan menghadirkan cerita yang berbeda.
Kedua, jika dilihat secara keseluruhan sejak awal masa Jokowi menjabat, penurunan kemiskinan secara keseluruhan sebenarnya jauh lebih besar di kota-kota daripada di desa-desa, meskipun dalam hal jumlah penurunan kemiskinan jauh lebih besar di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa penduduk miskin di desa lebih banyak daripada di kota, sehingga membuat orang miskin di desa lebih mudah diidentifikasi daripada di kota.
Ketiga, lebih baik melihat kondisi kemiskinan secara keseluruhan, bukan hanya dalam kaitannya dengan jumlah orang miskin tetapi juga pada kedalaman dan keparahannya.
Banyak program pengentasan kemiskinan yang efektif dalam mengurangi jumlah orang miskin (terutama mereka yang dekat dengan garis kemiskinan), tetapi tidak dapat meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling miskin sampaiyang setidaknya berada di dekat garis kemiskinan. Hal ini menjadi penting untuk dicatat mengingat bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan harus dapat meningkatkan kesejahteraan semua orang yang menderita kemiskinan tanpa megabaikan siapapun.
Telaah sejawat oleh Teguh Dartanto
Setelah mengecek ulang data BPS, penulis dapat mengonfirmasi bahwa data yang digunakan oleh penulis sudah benar.
Namun, kita tidak dapat secara tegas mengatakan bahwa pernyataan Jokowi tidak akurat. Pernyataan Jokowi hanya akan tidak akurat jika kita menggunakan angka dari seluruh rentang pemerintahannya. Tapi, klaim itu akan tetap akurat jika kita hanya membatasi data dari tahun 2017.
Penulis ingin menekankan bahwa penulis setuju dengan gagasan dalam menggunakan data statistik secara keseluruhan dan tidak dalam bagian-bagian tertentu. Oleh karena itu, untuk benar-benar mengukur keberhasilan Jokowi dalam memberantas kemiskinan, akan lebih baik menggunakan data dari awal masa jabatan Jokowi mulai bulan September 2014 daripada menggunakan data dari tahun 2017 saja.
Penulis juga ingin menegaskan bahwa akan lebih baik jika dijelaskan mengapa kesenjangan kemiskinan dan indeks keparahan perlu mendapatkan lebih banyak perhatian. Selain itu, ilustrasi sederhana juga dapat ditambahkan sehingga kedua konsep tersebut dapat lebih mudah dipahami.
Ridho Al Izzati adalah Peneliti Muda di Lembaga Penelitian SMERU.
Teguh Dartanto adalah Kapala Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.
Keterangan foto utama: Joko Widodo (Foto: Bloomberg/Seong Joon Cho)

Bagikan Berita Ini
0 Response to "Cek Fakta: Benarkah Tingkat Kemiskinan Desa Indonesia Menurun Dua Kali Lipat?"
Post a Comment