SNP Finance merupakan bagian usaha Columbia, jaringan ritel yang menawarkan pembelian barang rumah tangga secara kredit atau cicil. Dalam kegiatannya, SNP lah yang menyokong pembelian barang yang dilakukan oleh Columbia dengan sumber pendanaan dari perbankan atau surat utang.
Di industri multifinance, SNP Finance boleh dibilang pemain kelas menengah ke bawah. Lihatlah, total pembiayaan yang disalurkannya pun tidak lebih dari Rp5 triliun per tahun. Maklum, barang yang dibiayainya hanya kasur, lemari, sofa, dan perabot rumah tangga lainnya.
Berbeda dengan multifinance sekaliber BCA Finance, Astra Sedaya Finance, FIF, dan Adira Finance yang membiayai kendaraan roda empat dan sepeda motor. Tak heran, pembiayaan yang mereka salurkan selalu berkisar puluhan triliun per tahun. Wajarlah, teman-teman seprofesi SNP Finance itu berinduk usaha pada bank umum.
Namun, Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anto Prabowo mengungkapkan seiring dengan turunnya bisnis ritel Columbia, kredit perbankan yang ditarik SNP Finance pun bermasalah. "Dan menjadi NPL," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (26/9).
SNP Finance diketahui menerima fasilitas kredit modal kerja dari 14 bank. Salah satu dan yang paling besar berasal dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. SNP Finance sendiri telah 20 tahun menjadi nasabah Bank Mandiri. Namun, pada 2016, perusahaan mengajukan restrukturisasi kredit.
Saat itu, Bank Mandiri memasukkan SNP Finance dalam kelompok kolektibilitas 2 (kol 2) atau dalam perhatian khusus. Restrukturisasi kredit diperlukan bukan karena perusahaan menunggak pembayaran, melainkan agar perusahaan bisa mendapat kucuran dana dari bank lain.
Alih-alih membaik, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas mengatakan SNP Finance malah menunjukkan itikad buruk. Dalam beberapa bulan terakhir, kreditnya mulai macet dan manajemen perusahaan mengajukan pailit sukarela. Padahal, kredit macetnya saat itu mencapai Rp1,2 triliun.
"Mereka sebanarnya sudah jadi nasabah kami 20 tahun dan reputasinya baik. Tapi tiba-tiba berubah hanya dalam beberapa bulan terakhir kreditnya macet (Rp1,2 triliun). Jumlah itu termasuk pokok dan bunga yang diakumulasi sejak beberapa tahun terakhir. Sekarang sudah jadi kredit macet," jelas dia.
Sekretaris Perusahaan SNP Finance Ongko Purba Dasuha menyatakan bahwa nilai pinjaman yang mereka ambil secara total tak lebih dari Rp4 triliun. Hal itu juga tertuang dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). "Ada dalam pengakuan utang di PKPU," katanya.
PKPU itu terbit pada 4 Mei 2018, setelah dikabulkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam PKPU disebutkan total tagihan SNP Finance mencapai Rp4,07 triliun dari 14 bank sebagai kreditur dengan jaminan Rp2,2 triliun, serta 336 pemegang MTN senilai Rp1,85 triliun.
Pada Desember 2017, menurut Sistem Informasi Debitur (SID) Bank Indonesia kategori SNP Finance sebetulnya masih ada di kol 1 dengan status lancar. Tapi, Januari 2018, terjadi peralihan dan di bawah kontrol OJK, yakni Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang kemudian statusnya berubah menjadi kol 2.
Hal itu berimbas pada timbulnya pertanyaan bank-bank yang mengucurkan dana mereka ke SNP Finance dan berbuntut pada seretnya aliran kredit dari bank-bank lain. Di sisi lain, sistem manajemen penagihan di kantor-kantor cabang SNP Finance semakin lemah.
Gali Lubang Tutup Lubang
Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Daniel Tahi Monang Silitong mengatakan pengungkapan kasus ini berawal dari laporan Bank Panin pada awal Agustus 2018 lalu.
Menurutnya, SNP Finance mengajukan pinjaman fasilitas kredit modal kerja dan rekening koran kepada Bank Panin periode Mei 2016 sampai 2017 dengan plafon kepada debitur sebesar Rp425 miliar.
Salah satu tindakan yang dilakukan oleh SNP Finance untuk mengatasi kredit macetnya adalah menerbitkan surat utang berbentuk Medium Term Notes (MTN), yang diperingkat oleh Pefindo, lembaga pemeringkat, berdasarkan laporan keuangan yang diaudit oleh KAP DeLoitte.
"Dapat disampaikan bahwa penerbitan MTN tidak melalui proses di OJK, mengingat MTN adalah perjanjian yang bersifat private, namun memerlukan pemeringkatan karena dapat diperjual-belikan," terang Anto.
Mengutip siaran pers Pefindo, biro kredit independen tersebut mendapuk SNP Finance dengan peringkat idA- (single A minus) sejak Desember 2015-November 2017. Lalu, peringkat itu dinaikkan menjadi idA (single A) pada Maret 2018. Padahal, saat itu, keuangan SNP Finance mulai bermasalah.
Dua bulan setelahnya, yakni Mei 2018, OJK mengeluarkan sanksi Pembekuan Kegiatan Usaha (PKU) terhadap SNP Finance melalui Surat Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Nomor S-247/NB.2/2018.
Pefindo pun buru-buru menyematkan peringkat idCCC (triple C) atau credit watch negative sebelum akhirnya menarik peringkat terhadap SNP Finance. Namun, sampai berita ini diturunkan, pihak Pefindo belum merespons pertanyaan.
Dengan diberlakukannya PKU, maka SNP Finance dilarang melakukan kegiatan usaha pembiayaan. Jika mangkir dari hal itu, maka OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha.
Tak cuma itu, selama masa sanksi PKU, SNP Finance juga wajib menyampaikan dan melakukan tindakan korektif. "Dalam jangka waktu 6 bulan sejak PKU, SNP Finance tidak memenuhi tindakan tersebut, maka dapat dikenakan sanksi pencabutan izin usaha," imbuhnya.
Dengan kondisi itu, Anto menambahkan, OJK akan terus memonitor perkembangan kasus SNP Finance, serta memantau tim audit internal bank yang melakukan investigasi internal dan akan memberikan sanksi jika ada pegawai bank yang terlibat.
OJK akan terus berkoordinasi dengan instansi terkait, seperti Kepolisian dan Kementerian Keuangan untuk penindakan yang diperlukan. OJK juga melarang penerbitan MTN tanpa seizin OJK dan menyiapkan langkah koordinasi dengan Kemenkeu berkaitan dengan kerja Kantor Akuntan Publik
Langgar Standar Audit
Kemenkeu menyebut dua akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan SNP Finance, yakni Akuntan Publik Marlinna dan Merliyana Syamsul melanggar standar audit profesional.
Mengutip data resmi Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK), dalam mengaudit SNP Finance tahun buku 2012 - 2016, mereka belum sepenuhnya menerapkan pengendalian sistem informasi terkait data nasabah dan akurasi jurnal piutang pembiayaan.
Akuntan publik tersebut juga belum menerapkan pemerolehan bukti audit yang cukup dan tepat atas akun piutang pembiayaan konsumen dan melaksanakan prosedur memadai terkait proses deteksi risiko kecurangan, serta respons atas risiko kecurangan.
Selain dua akuntan publik di atas, Kemenkeu juga menyoroti DeLoitte Indonesia. Mereka diberi sanksi berupa rekomendasi untuk membuat kebijakan dan prosedur dalam sistem pengendalian mutu akuntan publik terkait ancaman kedekatan anggota tim perikatan senior.
Sekretaris Jenderal Kemenkeu Hadiyanto menuturkan bahwa sanksi diberikan untuk memperbaiki mereka. "Sanksi administratif diberikan untuk membuat kebijakan dan prosedur dalam sistem pengendalian mutu akuntan publik yang lebih baik," katanya.
Clients and Market Leader DeLoitte Indonesia Steve Aditya ketika dikonfirmasi masih belum menjelaskan sanksi yang diterimanya tersebut. "Kami sedang menyiapkan tanggapan terhadap pemberitaan Anda. Kami akan segera respons," ucapnya. (bir/asa)
https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20180926143029-78-333372/kronologi-snp-finance-dari-tukang-kredit-ke-tukang-bobolBagikan Berita Ini
0 Response to "Kronologi SNP Finance dari 'Tukang Kredit' ke 'Tukang Bobol'"
Post a Comment