Buntutnya, investor akan mencari asset yang lebih aman (save heaven asset) dan sentimen pasar cenderung menjauhi risiko.
Salah satu aset yang dianggap paling aman adalah membeli mata uang negara maju seperti dolar AS.[Gambas:Video CNN]
Ketika permintaan dolar AS meningkat maka kursnya akan semakin perkasa dibandingkan kurs mata uang lain.
Pasalnya, hanya AS yang melakukan konfrontasi dagang dengan Negeri Tirai Bambu tersebut secara langsung.
Bagi Indonesia, sambung Josua, pelemahan nilai tukar dampaknya lebih banyak merugikan dari pada menguntungkan. Maklum, sebagian besar ekspor Indonesia merupakan komoditas mentah. Dengan kondisi tersebut, ketika rupiah melemah maka nilai ekspor Indonesia di neraca dagang juga bakal ikut tertekan."Selain itu, sebagian besar pelaku industri di dalam negeri masih bergantung pada impor bahan baku dan barang modal untuk keperluan proses produksi," ujar Josua kepada CNNIndonesia.com, Rabu (7/8). Menangkap peluang dengan mendorong ekspor juga tak mudah dilakukan. Pasalnya, output dari produksi industri domestik tidak seluruhnya berorientasi ekspor.Sebagian besar produksi masih diperuntukkan bagi konsumsi domestik. Artinya, sulit bagi Indonesia untuk serta merta mengerek ekspornya secara signifikan dalam waktu singkat.
Kesulitan Indonesia untuk mendongkrak ekspor juga disebabkan oleh daya saing produk Tanah Air yang masih lebih rendah dibandingkan China. Konsekuensinya, alih-alih mendongkrak ekspor, neraca perdagangan Indonesia dengan China akan cenderung melebar.Apalagi dengan pelemahan yuan, harga produk China menjadi semakin murah. Harga yang murah tersebut berpotensi mengerek impor dari China ke Indonesia. "Pelebaran defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok mengindikasikan bahwa ketergantungan impor dari China masih cukup tinggi sementara di sisi lainnya ekspor Indonesia melambat seiring dengan perlambatan ekonomi Tiongkok dan penurunan harga komoditas," katanya.Dari sisi keuangan, sambung Josua, pelemahan kurs yuan yang berdampak pada pelemahan rupiah terhadap dolar AS juga dikhawatirkan akan menambah beban utang luar negeri Indonesia. Pasalnya, pembayaran bunga dan pokok utang luar negeri dilakukan dalam denominasi dolar AS. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), per akhir Mei 2019, utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai US$368,1 miliar atau sekitar Rp5.153 triliun (Kurs Jisdor akhir Mei Rp14.313 ribu per dolar AS). Jumlah tersebut setara dengan 36,1 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB).Mayoritas ULN merupakan utang swasta yang porsinya mencapai 54 persen atau senilai US$196,9 miliar. Sementara, US$183,6 miliar sisanya merupakan utang pemerintah.Sementara itu, Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai Indonesia sebaiknya mengikuti arus pelemahan mata uang negara-negara di dunia. Jika tidak, harga produk Indonesia akan menjadi relatif lebih mahal dan daya saingnya berkurang."Kalau BI sekarang ini tetap mempertahankan rupiah untuk menguat, kita akan menerima konsekuensi dari pelemahan mata uang di tempat-tempat lain. Artinya, produk kita menjadi lebih mahal dibandingkan produk negara lain," ujar Yose secara terpisah. Menurutnya, kebanyakan negara lebih menginginkan agar mata uangnya melemah. Ketika kurs mata uangnya keok, harga produknya menjadi relatif lebih murah bagi negara lain yang membayar menggunakan dolar AS.Tak heran, ketika China disinyalir melemahkan mata uangnya, negara lain cenderung ikut-ikutan melemahkan mata uangnya. Di Indonesia, kecenderungannya berbeda.Pelemahan rupiah kerap dianggap sebagai suatu kesalahan politik. Ketika rupiah melemah, ongkos politik yang ditanggung oleh pemerintah besar.
Padahal, secara riil, menurut Yose, kurs rupiah terhadap dolar AS terlalu kuat.
"Beban atau biaya politik dari rupiah melemah itu sangat tinggi. Orang kita tidak senang rupiah melemah. Padahal, diperlukan rupiah melemah sejak bertahun-tahun yang lalu," ujarnya.Untuk satu hingga dua bulan, Yose menilai dampak pelemahan rupiah akan mendongkrak nilai ekspor dan impor yang akan memperburuk defisit neraca perdagangan. Namun, setelah itu, pasar akan menyesuaikan dan neraca perdagangan akan membaik. Dalam hal ini, ketika impor semakin mahal maka pelaku akan cenderung menurunkan volumenya. "Ketika harga impor semakin mahal maka konsumsi dengan sendirinya akan berkurang," ujarnya.Namun demikian, sambung ia, harga sejumlah produk di dalam negeri tidak mencerminkan harganya di pasar global. Misalnya, Bahan Bakar Minyak (BBM) yang meskipun diimpor tetapi harganya mengikuti ketentuan pemerintah. Untuk itu, ketika rupiah melemah, harga BBM sebaiknya disesuaikan.Terkait beban utang yang berpotensi melonjak ketika rupiah melemah, Yose tak begitu khawatir. Pasalnya, porsi ULN relatif kecil terhadap PDB sehingga dampaknya masih bisa dikelola."Karena kita sudah punya pengalaman pada krisis 1998, ULN sekarang lebih terjaga," jelasnya. (agt) https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190808105427-78-419461/sinyal-bahaya-pelemahan-yuan-bagi-ekonomi-indonesiaBagikan Berita Ini
0 Response to "Sinyal Bahaya Pelemahan Yuan bagi Ekonomi Indonesia Ekonomi • 08 August 2019 11:45 - CNN Indonesia"
Post a Comment