Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, adalah merupakan program jaminan kesehatan dari pemerintah untuk bisa memberikan fasilitas kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan.
Sistem yang digunakan BPJS Kesehatan adalah sistim gotong royong, dimana yang mampu membantu yang miskin. Yang sehat membantu yang sakit. Yang kuat membantu yang lemah.
Walaupun BPJS Kesehatan memiliki sistim gotong royong, ternyata tidak efesien dalam mendongkrak pemasukan dana ke kas perbendaharaan BPJS Kesehatan. Jangankan biaya operasional bisa tertutupi, malah setiap Tahun Anggaran (TA) BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran.
Berbeda dengan sistim gotong royong yang ada di Koperasi, yang merupakan soko guru dari prekonomian rakyat, yang mampu untuk mengatasi masalah dana operasional, malah setiap TA Koperasi mampu untuk meraup laba keuntungan dari para nasabahnya.
Sementara BPJS Kesehatan, untuk tahun 2018 saja mengalami defisit sebesar lebih kurang Rp 29 triliiun. Sehingga BPJS Kesehatan menunggak pembayan terhadap Rumah Sakit (RS) yang melayani pasien peserta BPJS Kesehatan.
Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, defisitnya anggaran BPJS Kesehatan karena banyaknya tunggakan yang dilakukan oleh peserta BPJS Kesehatan. Umumnya dari masyarakat umum yang berasal dari kalangan non penerima upah tetap.
Sebagaimana diketahui para peserta BPJS Kesehatan terdiri dari empat golongan. Yakni golongan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau yang lazim disebut sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kemudian golongan TNI/Polri, dimana pembayaran uang iyurannya ditanggung ole negara melalui pemotongan gajinya setiap bulan. Dan golongan pihak Swasta, dimana pembayaran uang iyurannya dibayarkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja, serta masyarakat umum secara pribadi, pembayaran uang iyurannya juga dibayar secara pribadi.
Dalam pembayaran uang iuran ini BPJS Kesehatan membagi tiga jenis kelas. Untuk jaminan kesehatan kelas I iurannya perbulan sebesar Rp 80 ribu sedangkan untuk jaminan kesehatan kelas II BPJS Kesehatan menetapkan uang iyurannya sebesar Rp 51 ribu per bulannya, dan untuk jaminan kesehatan kelas III, uang iyurannya ditetapkan oleh BPJS Kesehatan sebesar Rp 25.500 per bulannya.
Kemungkinan apa yang dikatakan oleh Sri Mulyani terjadi penunggakan itu pada peserta BPJS Kesehatan di kelompok jaminan kesehatan kelas III. Karena pada umumnya peserta BPJS Kesehatan dilevel kelas III ini dihuni oleh orang orang miskin, yang harus membayar uang iurannya secara pribadi.
Tentu dalam konstek ini menimbulkan suatu pertanyaan. Kenapa BPJS Kesehatan mengalami defisit?. Sementara sistim yang dianut oleh BPJS Kesehatan adalah sistim kegotong royongan. Yang mampu membantu yang miskin, yang sehat membantu yang sakit dan yang kuat membantu yang lemah.
Katakanlah yang banyak melakukan penunggakan uang iyuran BPJS Kesehatan itu pada level jaminan kesehatan kelas III dari kalangan masyarakat umum non penerima gaji tetap. Lalu bagaimana dengan BPJS Kesehatan dari kalangan ASN, TNI/Polri dan pihak perusahaan swasta, yang lancar membayar uang iyurannya, lewat Negara dan perusahaan?
Seharusnya, BPJS Kesehatan tidak mengalah defisit anggaran, jika cara kerja serta manajemen pengelolaan BPJS Kesehatan itu dijalankan secara propesional. Karena tunggakan di kelas III, akan tertutupi dari uang iyuran peserta BPJS Kesehatan dari kelompok ASN, TNI/Polri dan swasta.
Iuran Naik Orang Miskin Menjerit
Untuk menghidupkan kembali denyut nadi BPJS Kesehatan, agar lembaga yang mengurusi tentang jaminan kesehatan bagi masyarakat Indonesia tidak mati suri, saat ini pemerintah sedang merancang jalan keluarnya.
Ada tiga jalan keluar yang akan ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi defisit anggaran yang dialami oleh BPJS Kesehatan itu. Seperti apa yang disampaikan oleh wakil Presiden Jusuf Kalla ketika menjawab pertanyaan wartawan di kantor wakil Presiden 27 Juli 2019.
Yang pertama kata JK pemerintah bersepakat untuk menaikan besarnya uang iuran peserta BPJS Kesehatan. Kedua sistem kerja BPJS Kesehatan itu harus segera dibenahi, termasuk manajemen didalamnya. Hal tersebut untuk menekan defisit anggaran tidak semakin membengkak.
Jika tahun ini kata JK, defisit anggaran lebih kurang Rp 29 triliyun, jika tidak dibenahi sesegera mungkin, tahun depan akan mengalami defisit Rp 40 triliyun. Dan tahun depannya lagi bisa mencapai Rp 100 triliun. Jadi sistim kerja dan management harus dirobah.
Atau jalan keluar yang ketiga adalah, kembali menyerahkan wewenang jasa sosial kesehatan tersebut kemasing masing Kepala Daerah, artinya kata JK pengelolaan tagihan fasilitas kesehatan yang ditanggung BPJS kesehatan, akan menjadi tanggungjawab Gubernur, Bupati dan Walikota masing masing daerah.
Sebabnya, menurut wakil Presiden itu, tidak mungkin satu intansi bisa mengontrol 200 juta lebih peserta. Maka harus didaerahkan, didentralisasikan, supaya rentang kendalinya tinggi. Agar 2500 RS yang melayani pasien peserta BPJS Kesehatan dapat dibina oleh Gubernur, Bupati dan Walikota di masing masing daerah.
Jika menelisik opsi pertama yang akan diambil oleh pemerintah sebagai jalan keluar untuk menghidupkan denyut nadi BPJS Kesehatan, dengan menaikan uang iuran BPJS Kesehatan, jelas bukan merupakan kebijakan yang pro rakyat. Khususnya rakyat miskin Indonesia.
Dengan menaikkan uang iuran BPJS Kesehatan, akan membuat orang miskin menjerit dalam mendapatkan pelayanan jaminan kesehatan, sesuai dengan Pasal 28H ayat (1) Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamandemen " Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Kemudian pada Pasal 34 ayat (1) menyebutkan " Fakir miskin, anak anak terlantar dipelihara oleh negara." Pada ayat (3) dijelaskan pula " Negara bertanggung atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.
Akan tetapi jika dikaitkan dengan ayat (4) " Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam UU ". Maka konsekuensi dari pertanggungjawaban negara terhadap fakir miskin tidak sepenuhnya terpenuhi.
Pada saat sekarang saja besar uang iyuran BPJS Kesehatan kelas III sebesar Rp 25.500 orang dalam setiap bulannya mereka sudah kesulitan. Apa lagi dalam satu keluarga terdapat lima orang, maka jumlah yang harus mereka bayar 5 orang X Rp 25.500 = Rp 127.500 sementara banyak dari orang miskin yang mempunyai penghasilan dibawah Rp 50 ribu per hari.
Tanggungjawab Negara
Jika mengacu kepada UUD 1945 Pasal 28H dan Pasal 34, jaminan kesehatan bagi orang miskin adalah tanggungjawab negara. Oleh karena itu negara seharusnya membebaskan segala biaya tentang perobatan untuk mendapatkan kesehatan bagi orang miskin.
Bukan harus mewajibkan orang miskin untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan, kemudian dibebankan untuk membayar uang iyuran, yang memang tidak mampu mereka bayar.
Itupun jika mereka tertunggak dalam pembayaran uang iuran, jika mereka sakit dan berobat, BPJS Kesehatan tidak memberikan pelayanan kesehatan kepada mereka, sebelum melunasi tunggakannya. Sementara jika mereka tetap sehat mereka juga tidak mendapatkan keuntungan apa apa dari BPJS Kesehatan.
Maka untuk itu pemerintah disarankan untuk kembali mengkaji ulang tentang keberadaan BPJS Kesehatan, sebagai perpanjang tanganan pemerintah dalam menjamin masyarakat untuk mendapatkan kesehatan.
Karena selama ini diberbagai daerah pelayanan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan kepada pesertanya tidak berbanding lurus dengan kewajiban yang mereka penuhi sehingga memunculkan komplain. Ditambah lagi adanya RS yang menolak pasien peserta BPJS Kesehatan. Semoga!
Penulis: Wisnu AJ, Sekretaris Forum Komunikasi Anak Daerah (Fokad) Kota Tanjungbalai.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "BPJS Kesehatan Defisit, Orang Miskin Menjerit - Republika Online"
Post a Comment