Liputan6.com, Jakarta - Sektor pertanian dinilai memerlukan sosok pemimpin tangguh, memiliki gagasan besar serta kemampuan manajemen yang baik. Dengan demikian, target untuk swasembada dan menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia di 2045 bisa terwujud.
Pengamat Ekonomi Pertanian Rachmat Pambudy mengatakan, untuk mewujudkan swasembada pangan bukan perkara yang mudah. Namun demikian, dia menilai upaya tersebut telah dimulai di era Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK).
"Selama ini Kementerian Pertanian (Kementan) telah menciptakan program pengembangan infrastruktur pertanian seperti embung, irigasi, jalan desa dan ekstensifikasi pertanian peternakan. Bahkan, juga penggebrak dalam mencetak sawah dan kebun,” ujar dia di Jakarta, Senin (24/6/2019).
Selain itu, dalam 4 tahun terakhir, Kementan juga telah melakukan pengembangan sejumlah komoditas pangan secara besar-besaran, seperti jagung, bawang merah, bawang putih, ayam buras dan sapi daging dalam program Sapi Indukan Wajib Bunting (SIWAB).
"Baru di era ini, beras, jagung, kedelai, gula dan bawang malah ekspor ke luar negeri," ungkap dia.
Selain itu, lanjut Pambudy, pemerintah selanjutnya perlu mempertahankan jajaran menteri yang mampu mencetak predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) di kementeriannya masing-masing. Ini guna menjaga transparansi penggunaan anggaran pemerintah dalam 5 tahun mendatang.
Dia menjelaskan, pada awal pembentukan Kabinet Kerja pada 2014 silam, Presiden Jokowi telah melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengedepankan nilai-nilai akuntabilitas dan integritas.
Hasilnya, dalam 3 tahun terakhir kepemimpinannya, pemerintahan Jokowi-JK mendapat stempel WTP alias Wajar Tanpa Pengecualian oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Memimpin sebuah kementerian untuk mendukung program pemerintah sekaligus menyelenggarakannya dengan prinsip clean government memang bukanlah perkara sepele," tandas dia.
Kementan Bantah Produk Pertanian China Banjiri Indonesia
Kementerian Pertanian (Kementan) membantah jika produk pertanianasal China membanjiri Indonesia. Sebaliknya, peningkatan kinerja ekspor pertanian ke sejumlah negara Asia, termasuk ke China berdampak positif pada neraca perdagangan nasional.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri mengatakan, beberapa produk yang diekspor antara lain, berasal dari komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan.
"Contohnya adalah ekspor impor produk pertanian kita dengan Malaysia, dimana neraca dagang pertanian kita selalu positif atau surplus dalam 5 tahun terakhir. Untuk tahun 2019 sampai bulan Maret saja, neraca perdagangan komoditas pertanian Indonesia dengan Malaysia, kita surplus 480,442 ton, dengan nilai USD 241 juta," ujar dia di Jakarta, Jumat (21/6/2019).
Menurut Kuntoro, berdasarkan data, sampai Maret 2019 ekspor pertanian Indonesia ke Malaysia mencapai 513,917 ton, senilai USD 287 juta.
"Sementara, impor kita dari Malaysia sampai Maret 2019 hanya 33,476 ton, atau senilai USD 44 juta," lanjut dia.
Selain Malaysia, kata Kuntoro, tren yang sangat positif dan surplus ini juga terjadi pada kerjasama dagang dengan negara-negara lain di Asia seperti China, Jepang, Korea dan Filipina.
Adapun khusus untuk pasar China, nilai pasarnya masih potensial, terutama bagi produk pertanian Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari neraca perdagangan pertanian Indonesia-China pada 2018 yang mengalami surplus sebesar USD 2,265 miliar.
"Nilai ekspor pertanian Indonesia ke China pada tahun 2018 mencapai USD 4,025 miliar, atau meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan transaksi sebelumnya yang hanya USD 2,058 miliar," jelas dia.
Mentan Jamin Penurunan Anggaran Tak Pengaruhi Kinerja Pertanian
Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman menyatakan, turunnya alokasi anggaran yang Kementerian Pertanian (Kementan) tiap tahun tidak berpengaruh terhadap kinerja di sektor pertanian. Bahkan, dalam 4 tahun terakhir kinerja pada sektor ini terus menunjukkan peningkatan.
Adapun berdasarkan Surat Bersama Pagu Indikatif 2020, Kementan memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp 20,535 triliun atau turun 5,37 persen dibandingkan dengan anggaran tahun 2019 sebesar Rp 21,68 triliun.
"Kita ketahui bersama bahwa selama empat setengah tahun kinerja Kementerian Pertanian 2015-2019 telah menorehkan berbagai hasil yang cemerlang. Padahal alokasi APBN sektor pertanian setiap tahunnya mengalami penurunan," ujar dia di kantor Kementan, Jakarta, Jumat (21/6/2019).
Capaian kinerja tersebut, lanjut Amran, antara lain, untuk PDB sektor pertanian 2014-2018 yang berdasarkan data BPS meningkat drastis. PDB pertanian tercatat naik Rp 400 triliun sampai Rp 500 triliun.
"Total akumulasi mencapai Rp 1.370 triliun. Salah satu faktor yang mendongkrak peningkatan PDB pertanian adalah peningkatan ekspor," kata dia.
Pada kurun waktu yang sama, lanjut dia, peningkatan ekspor diperkirakan mencapai 9 juta ton-10 juta ton. Jika pada 2013 ekspor hanya mencapai 33 juta ton, maka pada 2018 ekspor pertanian mencapai 42 juta ton.
"Ekspor kita meningkat itu atas kerja keras kita semua. Pertumbuhan ekonomi pertanian kita baru-baru ini mencapai 3,7 persen. Angka tersebut melampaui target yang ditetapkan pemerintah 3,5 persen," lanjut dia.
Selanjutnya, dari sisi inflasi pangan pada periode 2014-2017 turun signifikan sebesar 88,1 persen dari 10,57 persen menjadi 1,26 persen.
Kemudian, kata Amran, dari data BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) tahun 2018 mencapai 102.46, tertinggi selama lima tahun terakhir. NTP ini merupakan salah satu indikator untuk mengukur daya beli petani.
"Beberapa capaian nyata ini tentu menjadi bukti bahwa kita semua sudah on the right track dalam bekerja, sehingga berhasil membawa prestasi dalam pembangunan sektor pertanian," tandas dia.
Komoditas Penting, Kementan Upayakan Asuransi Pertanian untuk Cabai dan Bawang
Kementerian Pertanian (Kementan) sedang mengupayakan asuransi untuk cabai dan bawang. Pasalnya, kedua komoditas ini juga dianggap penting dalam pertanian Indonesia.
Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy, dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) Pertanian Tahun 2019, di Botani IICC, Bogor, Selasa (18/6).
“Sampai sekarang, kami masih mempertimbangkan indeks risikonya. Kan untuk kedua komoditas ini besar biaya produksinya, tidak seperti padi. Kita harus melihat berapa yang di-cover asuransi, berapa besar polis, dan lainnya,” ujar Sarwo Edhy.
Meski begitu, Sarwo Edhy mengatakan, Kementan sudah berkomitmen akan menjamin asuransi untuk bawang merah dan cabai. Hanya saja, penentuan indeks risiko ini pun harus dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari pihak asuransi hingga para ahli.
"Bagaimanapun petani bawang merah dan cabai juga butuh perlindungan gagal panen seperti petani padi. Kita terus upayakan hal itu," kata Sarwo Edhy.
Sebelumnya, asuransi pertanian ini sudah disediakan untuk padi dan ternak. Dikatakannya, Kementan pun masih terus berupaya mengedukasi petani untuk menggunakan asuransi ini. Saat ini juga sudah banyak petani yang mulai menggunakan asuransi secara mandiri.
“Ini akan kita dorong. Setelah dia merasa itu ada manfaatnya, polis Rp 180.000 itu tidak akan ada artinya dibandingkan manfaat yang mereka peroleh,” kata Sarwo Edhy.
Sarwo Edhy mengakui, Pemerintah saat ini masih fokus memberikan asuransi pada komoditi padi dan ternak sapi. Alasannya, dua usaha pertanian tersebut resikonya paling tinggi ketimbang yang lainnya.
“Komodiiti pangan lain seperti jagung resikonya kecil terkena OPT, kekeringan dan banjir. Jadi kita cover yang terkena dampak besar seperti padi,” kata Sarwo Edhy.
Sementara asuransi ternak sapi, kata Sarwo Edhy, bertujuan untuk mengamankan indukan yang selama ini banyak dipotong. Apalagi pemerintah sudah membuat peraturan pelarangan pemotongan betina produktif.
“Jadi yang kita targetkan adalah komoditas yang mudah terkena resiko,” katanya.
Untuk asurani usaha tani padi (AUTP), pemerintah menargetkan bisa mengcover 1 juta hektar (ha) lahan petani. Luasan tersebut berdasarkan pengalaman lima tahun terakhir lahan pertanian padi yang terkena musibah, serangan OPT, banjir dan kekeringan.
Luas lahan padi yang terkena banjir dan kekeringan dalam lima tahun terakhir rata-rata 528 ribu ha dan terkena OPT sekitar 138 ribu ha.
“Kalau kita jumlahkan tiap tahun lahan tanaman padi yang terkena dampak perubahan iklim dan OPT mencapai 600 ribu ha,” beber Sarwo Edhy.
Untuk AUTP, tanaman yang bisa diganti adalah yang gagal panenya hingga 75% dari luas tanamnya. Petani hanya membayar premi 20%, sedangkan sisanya disubsidi pemerintah. Sedangkan untuk AUTS adalah ternak sapi yang hilang dan mati terkena penyakit. Untuk peternak hanya membayar premi sebesar Rp 40 ribu.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sektor Pertanian Butuh Pemimpin yang Mampu Wujudkan Swasembada"
Post a Comment