Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina EP khawatir bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) dengan skema gross split akan menghambat program Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk menggenjot produksi minyak sumur tua.
Direktur Pengembangan Pertamina EP John H Simamora mengatakan, dengan mekanisme bagi hasil gross split penerapan EOR tidak menguntungkan, sehingga penerapanya akan tertahan.
"Akan lebih sukar dengan gross split sekarang orang akan berhitung modal gede untung dikit," kata John, di Jakarta, Selasa (12/3/2019).
Menurut John, perhitungan bagi hasil atau gross split untuk EOR menjadi tidak jelas sebab investor akan bernegosiasi terlebih dahulu dengan pemerintah untuk besaran bagian.
"Masalah pembagiannya saja, di gross split, kalau segitu tidak menarik. soalnya itu hal yang dinegosiasikan, bagi investor itu tidak baik," tuturnya.
John pun menantikan insentif dari pemerintah untuk perusahaan pencari migas yang menerapkan EOR, hal ini agar perusahaan mendapat keuntungan yang sebanding atas investasi yang besar. Dia menyebutkan insentif tersebut berupa penambahan bagi hasil migas untuk kontraktor.
"Kalau sudah sampai EOR ini, diskonnya dikasihlah, insentiflah. Karena tidak sama produksi minyak primery dan EOR karena semua jadi mahal. Kalau nggak ada insentif, perlakuannya beda. Aturan dari pemerintah belum cukup baik kayaknya," tandasnya.
Kapal Nelayan Terbakar 3 Orang Tewas
powered by
Sistem Gross Split Bikin Daya Pikat Investasi Hulu Migas RI Naik
Laporan Petroleum Economics and Policy Solution (PEPS) Global E&P Attractiveness Ranking menyebutkana bahwa daya saing ketertarikan berinvestasi pada sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia tahun 2018 nempati peringkat 25 dari 131 negara.
Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, capaian ini membuktikan tata kelola sektor migas Indonesia membaik sehingga mampu memikat para investor.
"Penilaian yang diakui oleh lembaga riset global membuktikan pengelolaan sektor migas di Indonesia belakangan ini berhasil mendorong kembali geliat investasi migas. Ini tak lepas dari upaya perubahan kebijakan fiskal pada pengusahaan di sektor migas," kata Arcandra, di Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Dilansir dari laporan IHS Markit, lembaga penyedia informasi dan analisis global yang berpusat di London, Indonesia masuk dalam kategori negara yang mampu menggenjot aktivitas eksplorasi dan eksploitasi migas di tengah lesunya investasi hulu migas akibat fluktuasi perekonomian global. Indonesia mampu mengguli Aljazair, Rusia, Mesir yang dikenal sebagai negara eksportir minyak.
Berdasarkan laporan yang sama, Indonesia juga menduduki peringkat terbaik apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Bila dikomparasikan, Malaysia misalnya. Pada tahun 2017 menduduki peringkat ke-23, sekarang ini melorot ke posisi 35.
Peningkatan aktivitas ini tak lepas dari adanya perubahan sistem fiskal bagi hasil Gross Splityang diterapkan oleh Pemerintah untuk menggantikan rezim fiskal sebelumnya, yaitu cost recovery. Perubahan ini cukup membawa angin segar lantaran efisiensi dalam sistem gross splitmenggiurkan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas menggalakkan kegiatan eksplorasi dan ekploitasi.
"Salah satu daya tarik Gross Split bagi para pelaku usaha migas adalah sistem ini mampu melindungi investor di saat rendahnya harga komoditi minyak dunia," jelas Arcandra.
Pemerintah pun berhasil mengantongi dana eksplorasi dari penerapan sistem fiskal baru tersebut sebesar Rp 31,5 triliun. Angka tersebut belum ditambah dengan bonus tanda senilai Rp 13,5 triliun yang diperoleh dari 39 kontraktor yang menggunakan sistem gross split.
"Saya yakin perubahan fiskal ini sangat menjanjikan bagi perkembangan masa depan investasi migas di Indonesia," tutur Arcandra.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pertamina EP Khawatirkan Gross Split Hambat Program Enhanced Oil Recovery"
Post a Comment