MOJOK.CO – Barisan caleg miskin merupakan fenomena yang selalu ada di setiap gelaran politik. Di Pileg dan Pilpres 2019, apakah ada yang bakal menjadi “Jokowi baru”?
Beberapa tahun yang lalu, saya pernah berbincang dengan seseorang. Saya lupa detail obrolan itu. Bahkan saya lupa dengan siapa saya mengobrol. Namun, ada satu kalimat dari beliau yang saya ingat sampai sekarang. Beliau bilang: “Orang baik di dunia politik itu seperti setetes susu di dalam segelas kopi.”
Maksudnya adalah, orang baik, yang sudah bekerja begitu keras merangkak dari bawah hingga tampuk pimpinan, lambat laun akan tertelan oleh dunia yang ia diami. Tertelan oleh permainan, jabat tangan di bawah meja, kongkalikong. Mereka yang baik, tidak bakal awet di politik. Mereka akan terinfeksi oleh pengaruh buruk untuk kemudian ditelan, menjadi bagian dari “orang-orang jahat” itu.
Satu hal lagi yang saya ingat adalah kami sedang membicarakan Jokowi. Saat itu, nama Joko Widodo tengah meroket. Prestasinya sebagai Walikota Surakarta membuat nama Jokowi dikenal dunia. Ia dipandang cocok maju di kontestasi Pilkada DKI Jakarta, bahkan punya ingredients paling komplet untuk menjadi presiden.
Dan memang demikian yang terjadi. Bak murid kelas akselerasi, Jokowi melesat, dari memenangkan Pilkada DKI, lalu Pilpres 2014. Kini, ini maju lagi sebagai presiden petahana berpasangan dengan Kiai Ma’ruf Amin.
Banyak kebijakannya yang terdengar janggal, apalagi soal beberapa janji yang belum atau tidak mungkin ditepati. Seperti misalnya ketika berjanji mengisi jabatan menteri dengan tenaga ahli, bukan simpatisan partai tertentu. Ahh, tak perlu saya perjelas. Pertanyaannya, apakah Jokowi sekarang bukan Jokowi yang dulu? Saya tidak tahu. Kepada majelis warganet yang terhormat saya serahkan keputusannya.
Satu hal yang pasti adalah, Jokowi berangkat dari “bukan siapa-siapa”. Betul, ia adalah pebisnis, tepatnya penguasaha mebel yang cukup sukses. Ia punya modal untuk maju di politik. Namun, ia yang berasal bukan dari “kelas politik lama”, tetap dianggap sebagai newbie. Dianggap miskin secara finansial dan pengalaman. Dulu, Jokowi adalah anomali. Ia mendobrak oligarki politik yang diisi “orang itu-itu saja”. Orang-orang yang pada dasarnya super kaya dan dekat dengan lingkaran politik.
Kini, di tahun 2019, fenomena caleg miskin tetap menarik untuk dilirik. Kamu harus tahu, panasnya pertarungan di kontestasi politik tidak hanya disediakan oleh Pilpres 2019 saja. Pileg, yang akan diadakan secara serentak juga punya posisi penting. Bahkan, ada partai besar yang sudah niat fokes ke Pileg ketimbang Pilpres.
Fenomena caleg miskin ini perlu dicermati. Apakah mereka-mereka ini bisa menjadi “Jokowi baru”, mendobak oligarki politik, atau malah tenggalam di dalamnya karena kalah modal dan pengalaman?
Para caleg miskin
Adalah Muhadi (29 tahun), sarjana manajemen sebuah kampus di Serang. Selalu mentok dengan calo ketika mencari kerja, memutuskan menjadi ojek pangkalan. Setiap melamar pekerjaan, ia harus mengeluarkan sejumlah uang supaya diterima. Geram, ia memutuskan menjadi tukang ojek pangkalan disambi jaga parkir di malam hari. Pendapatannya Rp400 ribu per bulan.
Karena sulitnya mencari kerja, ia memberanikan diri jadi caleg dari dapil Cipocok Jaya untuk DPRD Kota Serang dari Partai Bulan Bintang (PBB). Bukan karena nekat karena tak ada modal, ia ingin memperjuangkan warga yang kesulitan cari kerja.
“Saya ingin menuntut keadilan. Sekarang ini selama melamar kerja selalu dibilang nggak ada. Pada dasarnya kerjaan banyak. Oknum selalu minta nominal. Saya harus berkorban jadi legislatif,” kata Muhadi seperti dikutip oleh Detik.
Uang penghasilan ngojek Muhadi tabung untuk mendatangi warga di Cipocok Jaya. Ia pakai jaringan keluarga dan teman masa sekolahnya. Biasanya, jika hasil ngojek sehari lebih dari Rp50 ribu, ia datang mencari konstituen dari pintu ke pintu.
Muhadi cerita, niat pencalegan bermula dari keluhannya ke Ketua DPW PBB Banten. Ia kesulitan mencari kerja padahal sarjana manajemen. Dari situ tawaran jadi caleg datang dan dimodali seribu lembar kalender dan kartu nama.
Nur Wahid (47) punya cita-cita yang kurang lebih sama dengan Muhadi. Nur Wahid adalah penjual cakwe dan ia bercita-cita mensejahterakan rakyat miskin dan pegadang kecil.
Memburu kursi DPRD Kota Bekasi, Nur Wahid sudah menghabiskan Rp250 juta. Uang sebanyak itu ia kumpulkan dari tabungan berjualan cakwe selama ini ditambah uang dari donator. “Perkiraan hanya Rp 250 juta. Ya total (dana terkumpul) dari jualan cakwe, bantuan teman, saudara. Buat APK sekitar Rp70 jutaan, buat sosialisasi habislah Rp100 jutaan, sisanya buat lainnya,” terang Nur Wahid.
Nur Hadi punya cara sosialisasi yang cukup “mewah” untuk caleg miskin. Misalnya dengan memberikan fogging gratis, menyambangi warga secara door to door, hingga program cakwe gratis setiap Jumat.
Nur Wahid mencalonkan diri melalui partai Gerindra. Dia memilih Gerindra karena merasa satu visi-misi. Awal Maret 2018 dia mendaftarkan diri ke partai Gerindra. Menurutnya, Gerindra menerimanya dengan baik dan tidak meminta mahar atas pencalonanya itu. Sebagai salah satu barisan caleg miskin, syarat tanpa mahar ini tentu sangat menarik.
Sementara itu, Eha Soleha (44) punya latar cerita yang berbeda dibandingkan Muhadi dan Nur Wahid. Eha soleha adalah penjaja kopi keliling yang disebut Starling atau “Starbucks Keliling”. Eha mau nyaleg setelah dibujuk salah satu temannya, penjaja sayuran, seorang pengurus PAC Kecamatan Cibeber.
Sebagai caleg miskin, Eha mengatakan sama sekali tak punya tim pemenangan. Sehabis berjualan kopi, ia berkampanye ke rumah-rumah warga. Modalnya buku catatan untuk menulis aspirasi warga, ditambah stiker dan kartu nama yang dibuatkan PPP. “Kampanye door to door, datang ke kampung, saya kenalin saya caleg,” kata Eha
Bisa dibilang Eha ini cukup nekat. Bahkan, ia pernah dibilang sinting. Sudah caleg miskin, ia juga praktis tak punya modal untuk berburu “kursi empuk” itu. Ketika warga yang ia datangi mau menerima kehadirannya, baru Eha “berkampanye”. Saat ini, sudah 300 orang yang mendukungnya. Semuanya ia catat dengan rapi di dalam “buku catatan aspirasi”.
Bisa lahir “Jokowi baru”?
Para caleg miskin seperti Muhadi, Nur Wahid, dan Eha bakal berhadapan dengan ruwetnya dunia politik. Dunia mahal yang ditentukan oleh seberapa pandai mereka bernegosiasi. Tawar-menawar di dunia politik bukan lagi seringan tawar-menawar ongkos naik ojek, menentukan harga jual cakwe, atau mematok harga segelas plastic kopi sasetan.
Jika tidak bisa mempertahankan cita-cita mereka yang mulia, para caleg miskin ini bakal sebatas menjadi “penyumbang suara dan kuota”. Seperti kamu ketahui, sebuah partai harus memenuhi sejumlah kuota caleg perempuan. Apakah Eha Soleh salah satunya? Menjadi “pelengkap” saja?
Mampukah mereka mempertahankan ideologi wong cilik ketika partai yang menampung mereka membutuhkan untuk “bekerja di bawah meja”? kuatkah nurani mereka? Apakah bakal lahir “Jokowi baru” dari rombongan caleg miskin ini?
(yms)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Caleg Miskin: “Jokowi Baru” Atau Bakal Tertelan Oligarki yang Sama - Mojok"
Post a Comment