
Ekonom INDEF Enny Sri Hartati menjelaskan saat ini masih banyak pihak yang memiliki pandangan berbeda terkait angka kemiskinan di Indonesia. Hal ini terjadi karena banyak indikator untuk menghitung angka garis kemiskinan.
Padahal Badan Pusat Statistik (BPS) sudah memiliki perhitungan untuk angka kemiskinan. "Ada yang mengeluarkan statement 100 juta orang padahal data BPS 25,95 juta orang. Secara akademis kan yang disampaikan BPS itu ukurannya 2.100 kalori per hari," ujar Enny saat dihubungi detikFinance, Sabtu (4/8/2018).
Dia menjelaskan selain itu memang terjadi multitafsir mengenai garis kemiskinan yang digunakan oleh dunia. Saat ini dunia menggunakan indikator untuk garis kemiskinan yaitu Purchasing Power Parity (PPP) sebesar US$ 2.
Menurut dia itu ukuran untuk negara maju, dia menambahkan di Amerika Serikat (AS) saja bahkan sudah US$ 15 PPP nya. Memang berbeda jika ingin membandingkan. Setiap negara memiliki angka penghitungan garis kemiskinan yang berbeda.
"Jadi kalau membandingkan kemiskinan di tengah ekonomi dunia saat ini angka BPS 2100 kalori itu masih layak. Untuk membandingkan juga harus apple to apple, tak bisa hanya dengan membandingkan tanpa data atau perbandingan dengan negara lain yang lebih maju," imbuh dia.
Enny menjelaskan dalam membaca data atau metodologi yang digunakan untuk mengukur kemiskinan juga harus diukur dengan perkembangan dari realitas yang ada di masyarakat.
Sebelumnya Presiden ke 6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut jika orang miskin di Indonesia masih sebanyak 100 juta. Kemudian Ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto juga menyebut jika kemiskinan di Indonesia naik 50%. Padahal data BPS menyebutkan jika angka kemiskinan per Maret 2018 25,95 juta atau terus menurun dibandingkan periode tahun-tahun sebelumnya.
(KIL/ang) https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4149681/kisruh-data-kemiskinan-ekonom-perbandingan-harus-apple-to-appleBagikan Berita Ini
0 Response to "Kisruh Data Kemiskinan, Ekonom: Perbandingan Harus Apple to Apple"
Post a Comment