
Kemiskinan merupakan masalah klasik yang butuh penanganan serius mulai dari hulu hingga hilir. Melalui sebuah strategi, pemerintah menginginkan adanya penurunan terhadap angka kemiskinan di Indonesia. Mulai dari penyediaan infrastruktur yang memadai, bantuan sosial, hingga penerbitan kartu-kartu sakti yang tujuannya untuk meringankan beban hidup masyarakat, khususnya yang berada di bawah garis kemiskinan. Hasil nyata dari usaha yang dilakukan oleh pemerintah, angka kemiskinan Nasional menurun. Pada tahun 2018 berada di angka 9,82 %, untuk pertama kalinya sejak era reformasi tingkat kemiskinan berada di angka satu digit.
Pembangunan Indonesia Timur menjadi prioritas utama pemerintah era Jokowi-JK. Perluasan program PKH pada masyarakat yang berada di desil satu semakin digalakkan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat miskin, digagas program transformasi Bantuan Pangan Non-Tunai yang bergerak mulai dari desil satu hingga desil dua. Program untuk mencerdaskan anak bangsa juga digerakkan melalui Program Indonesia Pintar. Lalu, untuk membantu kebutuhan masyarakat miskin dalam hal kesehatan yang jumlahnya hingga berada hampir melebihi desil empat, hadir Program Indonesia Sehat dengan menggandeng Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS). Ketika masyarakat miskin sedang sakit, dengan adanya program tersebut, dapat berobat ke rumah sakit hanya dengan menunjukkan kartu KIS, maka semua pembiayaan gratis.
Meski masih muncul banyak kontroversi, kepemimpinan era Jokowi-JK mempunyai banyak prestasi yang berdampak baik terhadap kehidupan masyarakat, terutama masyarakat miskin. Pada periode berikutnya, semoga di bawah kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf, kehidupan masyarakat miskin semakin diperhatikan. Kemiskinan yang pergerakannya dinamis, tidak bisa diatasi hanya dalam bentuk satu pola yang monoton. Dibutuhkan kreativitas dinamis, pergerakannya ditekan sekecil-kecilnya, hingga terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.
Keseriusan Pemerintah Daerah
Sebagaimana usaha yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah juga melakukan berbagai usaha untuk menekan angka kemiskinan di daerah. Meski trennya masih terlihat lambat sejak 10 tahun terakhir. Beberapa program yang diterapkan di pusat, dilanjutkan di daerah melalui pembiayaan APBD. Salah satunya program untuk membantu meringankan beban masyarakat miskin saat sakit adalah pembiayaan kesehatan melalui penerbitan Surat pernyataan Miskin (SPM). Masyarakat miskin sangat terbantu dengan adanya program tersebut. Meski terkadang ada sebagian masyarakat yang mengeluh karena proses pengajuannya membutuhkan banyak persyaratan mulai dari tingkat RT hingga kabupaten. Apalagi masyarakat yang namanya tidak masuk dalam data AKP. Semiskin apa pun keadaannya, jika namanya tidak masuk kategori sangat miskin atau miskin, tidak bisa difasilitasi dalam program tersebut.
Usaha lain yang dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Situbondo dalam menekan angka kemiskinan adalah hadirnya Program Beasiswa bagi Masyarakat Miskin berprestasi yang dikenal dengan Program Situbondo Unggul. Putra daerah yang tidak mempunyai biaya yang cukup untuk berkuliah, namun berprestasi di sekolah, dapat dibiayai melalui program Situbondo unggul. Sejak 2013 hingga 2019, telah banyak putra-putri daerah yang berhasil meraih gelar sarjana berkat hadirnya program Situbondo Unggul.
Namun, dari sekian banyak putra-putri daerah yang telah selesai mendapat gelar sarjana, masih sedikit yang bisa berkiprah di daerah. Dunia kerja terbatas, jikapun ada, tidak sesuai dengan bidang ilmu yang diperolehnya. Pemerintah daerah perlu mengevaluasi kembali hal ini.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah melakukan usaha serius untuk menekan angka kemiskinan. Buah prestasi dari usaha tersebut, salah satunya angka kemiskinan dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Angka kemiskinan Nasional pada tahun 2018 sebesar 9,82 %, sementara Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo berada di angka 11,82%. Belum terlihat secara nyata angka kemiskinan di masing-masing desa.
Sementara ini yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik hanyalah angka kemiskinan daerah. Mengenai Angka kemiskinan di desa belum pernah penulis temukan. Ke depannya, alangkah lebih baiknya jika BPS juga merilis angka kemiskinan di masing-masing desa. Meski Kementerian Desa, Transmigrasi, dan Daerah Tertinggal merilis Indeks Desa Membangun, namun belum bisa diakses oleh semua orang. Target capaian pun belum dipahami sepenuhnya oleh masyarakat.
Lemahnya Respons Cakades
Dalam pengamatan penulis, belum banyak desa di Kabupaten Situbondo yang mempunyai inisiatif untuk menekan angka kemiskinan di desa. Padahal kesenjangan kemiskinan antara desa dan kota masih cukup tajam. Dalam data yang dirilis oleh BPS, pada tahun 2018 persentase penduduk miskin di daerah perkotaan sebesar 7,02%, sementara di daerah pedesaan sebesar 13,20%.
Selama ini, fokus pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa masih lebih banyak pada kegiatan infrastruktur. Belum pernah terdengar ada desa yang berinisiatif untuk membiayai kebutuhan masyarakat miskin dalam hal kesehatan yang tidak masuk dalam pembiayaan pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Begitupun inisiatif untuk memenuhi biaya pendidikan masyarakat miskin yang tidak mampu melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dalam agenda Pilkades Serentak 2019 Kabupaten Situbondo yang akan dilaksanakan pada Oktober 2019, belum pernah penulis mendengar visi-misi calon kepala desa (cakades) yang secara nyata ingin mengentaskan kemiskinan di desanya. Sebagian besar masih berkutat dalam hal penyediaan jalan, irigasi persawahan, jembatan, dan lain sebagainya.
Mengenai program-program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat miskin belum sama sekali diperbincangkan. Minimal dalam penyampaian janji politik di kampanye yang beberapa bulan ini sudah digagas.
Jika keberpihakan terhadap masyarakat miskin di desa belum muncul dari benak pikiran para calon kepala desa, lalu pada siapa masyarakat miskin desa akan mengadukan nasibnya di masa depan. Anggaran yang dimiliki pemerintah pusat terbatas, pemerintah daerah terbatas, begitupun dengan pemerintah desa. Maka, akan lebih baik jika ketiga sumber anggaran tersebut dapat di-sharing dalam penanganan kemiskinan mulai dari tingkat pusat hingga desa. Misalnya dengan persentase 30% pemerintah pusat, 20% pemerintah daerah, dan 10% pemerintah desa. Sementara sisanya bisa berasal dari pihak swasta atau lembaga sosial di masyarakat yang juga fokus untuk mengentaskan kemiskinan. Maka, jika seluruh elemen bergerak bersama secara terintergrasi dan terpadu, lambat laun kemiskinan akan segera terentaskan. (*)
*) Peneliti Pusat Studi Kemiskinan Daerah di Situbondo.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menanti Cakades yang Berpihak pada Masyarakat Miskin - Jawa Pos"
Post a Comment