KINI, Pasar Pagarsih di Kota Bandung telah beralih fungsi menjadi sentra percetakan. Banyak pedagang yang rata-rata adalah masyarakat ekonomi menengah ke bawah tak sanggup lagi menyewa kios di dalam pasar karena harga sewa yang mahal.
Salah satu pasar terbesar di Kota Bandung yang terletak di Jalan Pagarsih itu juga dikenal dengan nama Pasar Ulekan. Pasar Pagarsih membelah Jalan Babakan Irigasi dan Jalan Natawidjaja, serta berhadapan dengan gundukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah yang berada di Jalan Pagarsih.
Kawasan Pagarsih memang terkenal dengan industri percetakannya. Namun belakangan, kawasan itu dikenal juga sebagai area langganan banjir.
Karena menjadi sentra percetakan, pasar Pagarsih yang kadang terendam banjir saat hujan deras kini beralih fungsi. Jika dahulu lantai 1 pasar dipenuhi para pedagang bahan makanan, sekarang sebagian kios diisi oleh pengusaha percetakan.
Akan tetapi, bukan berarti para pedagang bahan makanan “terjajah” oleh usaha percetakan. Pasar yang ada di lantai 1 masih tetap ramai pembeli bahan makanan.
Menurut warga setempat, pasar yang tumpah di halaman luar bangunan utama digunakan sebagai pasar basah sedangkan yang berada di lantai 1 bangunan utama sebagai pasar kering. Namun seiring waktu, diferensiasi itu terabaikan.
Pasar Pagarsih mencapai masa kejayaannya sekira tahun 2009. Ketika itu banyak pedagang ikan hias dari Jalan Muara berbondong-bondong pindah ke lantai 2 dan 3 Pasar Pagarsih. Sejak awal, lantai 2 dan 3 pasar difungsikan khusus sebagai pasar ikan. Namun, saat ini kondisinya terbengkalai dan beralih fungsi menjadi sentra percetakan, sama seperti lantai 1. Bahkan beberapa kios kosong tak berpenghuni.
Cerita para pedagang
Meski terlihat megah, siapa sangka dahulu pasar Pagarsih hanya berupa deretan kios yang disekat bilik. Kini, pamor Pasar Pagarsih tak lagi secemerlang sekira 15 tahun lalu ketika baru selesai direnovasi.
Ye Ing (79) bercerita, dulu dia memiliki kios yang cukup besar di Pasar Pagarsih pada periode tahun 1969-1992. Pada 1990, para pedagang mulai diusir secara halus. Perundingan lalu diadakan antara pedagang, pemerintah dan dan pengembang untuk membahas nasib pada pedagang.
“Selama 2 tahun, dari 1990 sampai 1992, kami disuruh memilih apakah mau dipindahkan ke Pasar Ancol atau Pasar Burung, tapi semuanya harus dilakukan dengan uang sendiri. Kami hanya diberi uang pesangon Rp 300.000. Bisa dibilang itu sebagai harga jual kios kami daripada tidak dapat pengganti sama sekali.” tutur Ye Ing yang sejak 1992 memutuskan tidak lagi berdagang.
“Pedagang juga dijanjikan kalau Pasar Pagarsih sudah jadi (direvitalisasi), kalau kami mau berdagang lagi, harus menyewa kios. Padahal dulu saya punya kios sendiri, pedagang lain juga sama, tapi dipaksa menjual kios dan disuruh pindah karena akan dibangun masjid,” tuturnya.
Revitalisasi tak berjalan lancar. Butuh waktu sekira 11 tahun, terhitung sejak 1993-2004 hingga akhirnya pasar kembali dibuka. Selama itu pula, para pedagang yang tak ingin pindah ke Pasar Ancol atau Pasar Burung memilih berjualan di halaman depan Pasar Pagarsih.
Kebiasaan itu dilakukan hingga sekarang. Jika dulu alasannya karena pasar sedang direnovasi, sekarang karena harga sewa kios sudah mahal.
Sebagian pedagang bahan makanan memang masih bisa menyewa kios, tetapi sebagian lagi merasa harga sewa terlalu mahal.
Salah seorang pedagang yaitu Eram (55), yang kini memilih berdagang di halaman luar pasar mengatakan, meski tidak punya kios, keuntungan yang didapat setiap hari jauh lebih besar daripada harus berdagang dengan menyewa kios di dalam bangunan pasar.
Dia menuturkan, alasan sebagian pedagang tetap berjualan di luar bangunan utama pasar meski sudah beres direvitalisasi adalah karena harga kios yang disewakan terlalu tinggi sehingga akhirnya banyak dipakai oleh pengusaha percetakan. (Raissa Yulianti)***
https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2019/07/16/kronik-pasar-pagarsih-dulu-sayuran-kini-kertasBagikan Berita Ini
0 Response to "Kronik Pasar Pagarsih Kota Bandung, Dulu Sayuran Kini Kertas - Pikiran Rakyat"
Post a Comment