Peneliti perpajakan dari Indef, Mohammad Reza mengatakan bila dugaan Global Witness terbukti, berarti ada pelanggaran transfer pricing yang tak berhasil dideteksi Ditjen Pajak.
“Saat Adaro menerima manfaat dari jaminan yang diberikan pemerintah pada beberapa pembangkit listrik besar, mereka sedang mengembangkan jaringan luar negerinya dan memindahkan sejumlah besar uang keluar Indonesia,” ujar Manajer Kampanye Perubahan Iklim Global Witness, Stuart McWilliam dalam keterangan tertulis.
Dalam laporan yang berjudul “Global Witness: Jaringan Perusahaan Luar Negeri Adaro [PDF],” Adaro melakukan langkah itu melalui salah satu anak perusahaannya di Singapura bernama Coaltrade Services International. Caranya bisa dibagi menjadi dua.
Pertama, Adaro menjual batu bara yang ditambang di Indonesia dengan harga rendah kepada Coaltrade untuk kemudian dijual kembali oleh anak perusahaan itu dengan harga lebih tinggi. Selama 2009-2017, Global Witness mencatat lebih dari 70 persen batu bara yang dijual Coaltrade berasal dari tambang batu bara Adaro di Indonesia.
Kedua, Global Witness juga mendapati Coaltrade menerima komisi dari pihak ketiga dan anak perusahaan Adaro lainnya. Komisi penjualan batu bara bernilai sekitar 4 juta dolar AS per tahun sebelum 2009. Lalu, antara 2009-2017, angka itu berubah menjadi 55 juta dolar AS per tahun.
Coaltrade pun memanfaatkan peluang ini untuk memperoleh laba dan membukukannya di Singapura yang notabene tarif pajaknya lebih rendah dari Indonesia. Nilai pajak yang dapat dikumpulkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencapai 125 juta dolar AS dari pajak penghasilan perusahaan atau setara 14 juta dolar AS per tahunnya.
Proses dari Singapura ini pun kembali berlanjut dengan pengalihan keuntungan Coaltrade ke negara suaka pajak di Mauritius, Samudra Hinda. Sebab, negara itu tak mengenakan pajak apa pun sebelum tahun 2017 dan setelahnya.
Global Witness mendapati antara 2009-2017, terdapat 90 persen keuntungan bersih Coaltrade senilai 338,5 juta dolar AS dibayarkan kepada Vindoor Investments di Mauritius. Vindoor dan Coaltrade diketahui dimliki oleh Arindo Holdings di Mauritius yang diduga merupakan kelompok perusahaan luar negeri yang juga dikuasai Adaro.
Meskipun demikian, Arindo menurut Global Witness tidak membayar dividen apa pun kepada Adaro sehingga seolah-olah tak ada uang yang dikenakan pajak di Indonesia.
Pada 2017, Global Witness mendapati Coaltrade membayar 31 juta dolar AS mengakuisisi Adaro Capital yang berada di Labuan, wilayah suaka pajak Malaysia. Menurut Arindo Holdings, kehadiran Adaro Capital hanya untuk melakukan kegiatan investasi dan belakangan memiliki sebagian tambang batu bara di Kestrel, Australia.
Mengingatkan pada Kasus Asian Agri
Peneliti pajak dari Insitute for Development of Economics and Finance (Indef), Mohammad Reza mempertanyakan peran DJP dalam hal ini. Menurut dia, bila dugaan laporan Global Witness terbukti, berarti ada pelanggaran transfer pricing yang tak berhasil dideteksi DJP.
Hal ini, kata Reza, mengingatkan pada kasus penggelapan pajak terbesar pada 2007 yang sempat melibatkan Asian Agri, salah satu perusahaan komoditas di bidang sawit. Negara, kata Reza, sempat “jebol” pada kasus ini.
Karena itu, Reza mengatakan DJP perlu melakukan pemeriksaan pada sistemnya. Pertama, terkait kemungkinan temuan Global Witness ini lolos dari tax amnesty atau sudah diputihkan dari program itu. Kedua, Automatic Exchange of Information (AEOI) yang berjalan masih kurang optimal mendeteksi harta di luar negeri.
“DJP perlu investigasi. Ini mempertanggungjawabkan integritas DJP, tapi sekaligus jadi momentum untuk mengecek perusahaan komoditas lainnya. Enggak hanya Adaro,” ucap Reza saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (5/7/2019).
Reza menambahkan adanya laporan ini juga diduga dapat menjelaskan mengapa besarnya hasil ekspor komoditas kerap jomplang dengan penerimaan pajak yang diterima. Meski demikian, kata dia, tetap ada kemungkinan celah aturan baik dari Kemenkeu maupun sektor batu bara yang memungkinkan ini terjadi.
Sebab dampaknya, kata Reza, pastinya turut memengaruhi capaian tax ratio (dalam arti luas) pemerintah yang kerap tak mencapai target. Ketimbang mengandalkan harga komoditas, menurut Reza, pembenahan dari sisi pajak kali ini terbukti perlu dilakukan.
“Ini ada kaitan sama tax ratio. Kalau benar terjadi, enggak heran kenapa sulit mencapai target,” kata Reza menambahkan.
Respons Adaro Soal Temuan Global Witness
Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Febriati Nadira menegaskan, perusahaannya menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) sehingga pasti mematuhi aturan perpajakan Indonesia.
Wania yang akrab disapa Ira ini juga mengatakan, informasi yang berkaitan dengan transaksi afiliasi dengan Coaltrade Services International Pte.Ltd serta pembayaran pajak dan royalti sudah diungkapkan di dalam laporan keuangan perusahaan.
“Selama bertahun-tahun Adaro terpilih sebagai salah satu Wajib Pajak yang menerima apresiasi dan penghargaan atas kontribusinya terhadap penerimaan negara, patuh terhadap peraturan perpajakan serta responsif,” ucap Ira dalam keterangan tertulis yang dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat (5/7/2019).
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Kemenkeu, Hestu Yoga Saksama belum menjawab pertanyaan reporter Tirto hingga artikel ini dirilis.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Dugaan Adaro Menghindari Pajak Mengingatkan pada Kasus Asian Agri - tirto.id"
Post a Comment