Jika asumsi harga meleset, maka besar peluang subsidi tersebut menjadi tidak lagi efektif untuk membantu "meringankan" BUMN yang kebagian pulung untuk melaksanakan kewajiban pelayanan publik (public service obligation/PSO). Dalam kasus ini, Pertamina yang bakal menanggung getahnya jika asumsi dasar pemberian subsidi itu meleset.Jika kita melihat secara tren historis, pemerintah sudah berupaya sekeras mungkin untuk menekan pembelian solar impor, dengan menaikkan porsi produksi biodisel yang berbahan dasar dari minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Tahun ini, bauran biodisel ditargetkan mencapai 30%, naik dari tahun lalu yang hanya sebesar 20%. Alokasi solar pun ditargetkan sebanyak 14 juta kiloliter (KL), atau lebih rendah dari alokasi tahun lalu sebesar 15,4 juta KL, karena makin tingginya pemakaian biosolar tersebut. Namun, bersamaan dengan alokasi solar sebesar Rp 1.500 tersebut, Komisi VII DPR dan pemerintah menetapkan asumsi minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) di level US$60 per barel. Angka ini jauh lebih tinggi dari ICP yang dipatok tahun lalu di US$48/barel-yang juga meleset karena harga minyak menyentuh US$63 per barel saat itu.Akankah asumsi kali ini bakal tercapai? Jika mengacu pada perkembangan global yang memengaruhi pergerakan harga minyak, asumsi pemerintah dan DPR tersebut berpeluang meleset kembali. Saat ini saja, harga minyak Brent-yang menjadi acuan ICP-sudah berada di level US$64,92 per barel atau tumbuh 20,6% sepanjang tahun berjalan.
Beberapa lembaga memperkirakan harga energi utama dunia bakal terus meningkat tahun ini terutama di tengah upaya Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia untuk memangkas produksinya. Perlu dicatat, tiga pihak yang memegang kendali produksi minyak adalah AS, Rusia, dan OPEC. Energy Information Administration (EIA) yang merupakan lembaga resmi pemerintah AS memprediksi harga minyak Brent tahun ini akan berada di level psikologis US$70/barel. Angka proyeksi yang baru dirilis pada 8 Mei 2019 ini lebih tinggi dari sebelunya yang dipatok di level US$65/barel.
Belum lagi jika kita memasukkan faktor ketegangan di Selat Hormuz yang merupakan nadi utama lalu lintas minyak dari Timur Tengah. Jatuhnya pesawat nirawak mata-mata milik AS oleh Angkatan Udara (AU) Iran membawa eskalasi di Kawasan itu kian meningkat.
Dalam laporan "Turbulent times: Measuring real-time shifts in a volatile oil market", The Economist Inteligence Unit (EIU) memasukkan faktor Iran sebagai faktor yang tak terduga yang bisa mengubah peta industri minyak global.
"Jika ekspor Iran jatuh di bawah 10 juta barel per minggu selama beberapa pekan, pemerintah Iran bisa mengambil kebijakan agresif, yang membuat harga minyak kian volatil," tulis EIU.
Jika proyeksi ini terjadi, maka Pertamina harus memutar otak agar masih bisa memasok Solar dengan harga yang sudah ditetapkan, sementara harga beli minyak mentah dan solar impor naik melampaui nilai subsidi yang diberikan pemerintah. TIM RISET CNBC INDONESIA (ags/prm) https://www.cnbcindonesia.com/news/20190621202621-4-79992/amankah-subsidi-solar-cuma-rp-1500-liter-di-2020Bagikan Berita Ini
0 Response to "Amankah Subsidi Solar Cuma Rp 1.500/Liter di 2020? - CNBC Indonesia"
Post a Comment