
Pupuk Indonesia merupakan induk perusahaan produsen pupuk pelat merah di Indonesia. Perusahaan mendapatkan mandat untuk memproduksi atau mengadakan pupuk bersubsidi dari pemerintah.
Sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48 Tahun 2018, pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani yang telah bergabung dengan kelompok tani. Petani tersebut melakukan usaha tani subsektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, dan/atau peternakan. Pupuk bersubsidi dilarang digunakan oleh perusahaan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan/atau perusahaan perikanan budidaya.
Sebagai produsen dan pihak yang mengadakan pupuk bersubsidi, alokasi subsidi pupuk yang diterima Pupuk Indonesia trennya terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode 2014 - 2018, Pupuk Indonesia mendapatkan pendapatan subsidi sekitar Rp128,69 triliun dengan asumsi seluruh alokasi subsidi pupuk tahun lalu terealisasi sepenuhnya.
Tahun lalu, perusahaan mendapatkan alokasi subsidi pupuk sebesar Rp28,5 triliun atau meningkat 14,13 persen dari tahun sebelumnya, Rp24,97 triliun. Alokasi tersebut merupakan yang terbesar dalam lima tahun terakhir.
Anggaran tersebut digunakan untuk mensubsidi 9,55 juta ton pupuk atau meningkat 2,7 persen dari realisasi 2017, 9,3 juta ton. Rinciannya, 4,2 juta ton untuk pupuk urea, 2,69 juta ton untuk pupuk NPK, dan sisanya untuk pupuk SP-36 dan organik.
Tahun ini, alokasi subsidi pupuk perusahaan turun 7,1 persen menjadi 8,87 juta ton. Namun, secara nilai, anggaran subsidi pupuk pada 2019 naik menjadi Rp29,5 triliun mengingat alokasi subsidi awal untuk 9,5 juta ton.
Pengamat Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai skema penyaluran subsidi pupuk di Indonesia perlu dirombak agar lebih tepat sasaran. Skema penyaluran subsidi ke perusahaan membuka ruang untuk kebocoran mengingat panjangnya rantai distribusi.
"Skema subsidi pupuk sama sekali tidak efisien, itu harus dirombak total.
Harga pupuk bersubsidi yang lebih murah membuka kesempatan bagi oknum yang ingin menjualnya ke pasar dengan harga yang lebih tinggi. Bahkan, Dwi pernah mendapatkan informasi pupuk bersubsidi di Indonesia dijual di Malaysia dengan harga yang tinggi.
"Ada beberapa studi yang menyatakan, total subsidi pupuk yang benar-benar diterima petani hanya 60 persen. Berarti ada yang hilang 40 persen," ujar Dwi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (28/3).
Sebagai gambaran, pupuk bersubsidi dijual oleh pengecer resmi sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang lebih rendah dari harga pasar. Sesuai Permentan 40/2018, HET Urea ditetapkan Rp1.800 per kilogram (kg), SP-36 Rp2 ribu per kg, ZA Rp1.400 per kg, dan pupuk organik Rp500 per kg. Sebagai pembanding, berdasarkan penelusuran CNNIndonesia.com, harga pasar pupuk urea non subsidi berkisar Rp5 ribu per kg dan pupuk ZA berkisar Rp5.500 hingga Rp6.500 per kg.
Maka itu, Dwi menilai pemerintah sebaiknya mengubah skema penyaluran subsidi menjadi subsidi langsung kepada petani seperti yang dilakukan berbagai negara. Dalam hal ini, petani langsung mendapatkan sejumlah uang tertentu untuk membeli pupuk per musim tanam. Dengan demikian, petani memiliki keleluasaan untuk membeli pupuk dengan jumlah dan jenis yang sesuai dengan kebutuhan.
Dwi meyakini petani tidak akan semena-mena menggunakan uang tersebut untuk membeli yang lain. Pasalnya, bagi petani, pupuk merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan panen.
"Sekarang saja, petani banyak berutang untuk modal tanam," ujarnya.
Dengan subsidi langsung, petani akan membeli pupuk dengan harga pasar. Imbasnya, produsen pupuk akan lebih banyak dan pasar lebih kompetitif.
[Gambas:Video CNN]
Agar skema subsidi langsung berhasil, pemerintah harus memperkuat pendataan. Dengan demikian, pemerintah mengetahui seluruh penerima subsidi. (sfr/lav)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pupuk Indonesia Terima Subsidi Rp100 Triliun dalam 5 Tahun - CNN Indonesia"
Post a Comment