KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dengan berbagai spekulasi pasar, keputusan Federal Open Market Commitee (FOMC) untuk menaikan suku bunga dinilai menjadi boomerang bagi Amerika Serikat dan negara lain. Termasuk berpengaruh pada pergerakan rupiah.
Bhima Yudhistira, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menilai bahwa rencana kenaikan suku bunga oleh The Fed sendiri belum jelas dan pasti. Dari hasil rapat dewan gubernur bank sentral Amerika Serikat sebelumnya mengisyaratkan menaikkan suku bunga sebanyak tiga sampai empat kali pada tahun 2019.
“Belum tahu tunda kenaikan atau bagaimana. Ada kekhawatiran kalau The Fed terlalu agresif menaikkan suku bunga bisa terjadi resesi ekonomi Amerika,” ungkapnya kepada Kontan.co.id, Minggu (16/12).
Tak hanya itu, kalaupun kenaikan suku bunga oleh The Fed terjadi, Bhima memperkirakan kenaikan suku bunga 25 bps tanpa kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia akan berimbas pada pelemahan rupiah.
Meskipun secara fundamental tidak cukup banyak yang menjadi faktor membuat rupiah melemah. Pasalnya, Bhima mencatat bahwa kebijakan pre-emtives Bank Indonesia (BI) sudah sangat tepat dengan menaikkan suku bunga secara bertahap. “BI juga punya instrumen DNDF untuk memperdalam hedging valas di dalam negeri. Dan itu direspon positif oleh pelaku pasar,” tambahnya.
Hanya saja, yang menjadi polemik mata uang garuda belum cukup kuat adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang melebar. Sekedar informasi saja, defisit transaksi berjalan mencapai US$ 8,85 miliar atau setara 3,37% dari produk domestik bruto (PDB).
Hal ini disebabkan harga minyak mentah yang tinggi hingga Oktober 2018, dan pertumbuhan proyek infrastruktur yang terus meningkat plus nilai rupiah yang sempat terdepresiasi di level Rp 14.200 per dollar AS. Sisi lain, investasi asing langsung hanya mencapai US$ 3,3 miliar atau nilainya lebih kecil timbang CAD.
Bhima menambahkan bahwa kebijakan Pemerintah lewat PPH 20 dan B20 sendiri belum terasa efeknya. Sehingga, untuk bisa menguatkan rupiah hingga akhir tahun, diakui Bhima tak cukup dari kebijakan Bank Indonesia semata.
Hingga akhir tahun, Bhima memperkirakan rupiah bergerak di rentang Rp 14.650 sampai Rp 14.850 per dollar AS. Sementara jika The Fed menaikkan suku bunga secara agresif dan BI Rate juga naik, Bhima melihat bahwa rupiah masih berpotensi lemah di rentang Rp 14.590 sampai Rp 14.650 per dollar AS.
Kalaupun The Fed tetap dan BI Rate juga masih tetap dengan suku bunganya, maka rupiah diperkirakan Bhima menguat tipis di rentang Rp 14.430 sampai Rp 14.500 per dollar AS. Sebaliknya, kalaupun The Fed dengan suku bunganya, sementra BI Rate naik, maka rupiah berpotensi menguat di level Rp 14.250 sampai Rp 14.330 per dollar AS.
Analis monex Investindo Futures Putu Agus Pransuamitra juga masih melihat ketidakpastian pergerakan rupiah saat ini. Hal ini paska The Fed yang menaikkan suku bunganya tahun depan, sementara BI pun akan menetapkan kebijakan tergantung skema kenaikan suku bunga bank sentral AS.
“Meski The Fed menaikkan suku bunga, dan kenaikan tidak banyak sekitar satu kali atau maksimal dua kali tahun depan, dan BI Rate tetap rupiah berpotensi menguat. Sementara The Fed menaikkan suku bunga dan BI Rate juga menaikkan suku bunga, rupiah berpeluang besar menguat,” ujar Putu. Ia pun memproyeksi rupiah akhir tahun berada di rentang Rp 14.100 sampai Rp 14.290 per dollar AS.
Editor: Yoyok
Editor: Yoyok
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kenaikan suku bunga The Fed dan BI, berpotensi membuat rupiah menguat"
Post a Comment