Sedangkan dari segi nilai, impor LPG pada Oktober 2018 menghabiskan US$ 304,07 juta, naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 239,58 juta.
Adapun, secara kumulatif, sepanjang Januari-Oktober 2018, tercatat volume impor LPG sudah sebesar 4,55 juta ton, naik dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 4,49 juta ton. Otomatis, hal ini juga membuat nilai impor LPG secara kumulatif melonjak, dari US$ 2,13 miliar pada Januari-Oktober 2018, menjadi US$ 2,54 miliar.
Ditambah, impor LPG yang tinggi disebabkan konsumsi LPG Indonesia sebesar 6,7- 6,8 juga ton, dari situ 70% adalah impor. Sehingga, mau tidak mau, impor memang harus dilakukan.
Kenapa kita masih impor?
Produksi gas Indonesia sebenarnya cukup tinggi, yakni mencapai 1,2 juta barel setara minyak per hari (BOEPD). Jika jumlah ini dikonversi menjadi LPG, sebenarnya masih bisa mencukupi konsumsi domestik. Masalahnya, karakteristik gas yang diproduksi oleh Indonesia tidak serta merta dapat dikonversi menjadi LPG.
Seperti yang dikatakan Menteri ESDM Ignasius Jonan, banyak dari sumur-sumur gas Indonesia disebut gas kering (lean gas), komponen untuk menghasilkan gas melon, gas yang dibutuhkan adalah gas dengan kandungan propan (C3) dan butan (C4), dan jumlahnya tipis sehingga tidak bisa membuat LPG. Sementara, lapangan gas di Indonesia lebih banyak menghasilkan C1 dan C2.
Adapun, impor tidak terlepas dari subsidi. Di 2019, subsidi energi meningkat 6%% mencapai Rp 156,5 triliun, dibandingkan APBN 2018 yang hanya dipatok Rp 94,6 triliun.
Rinciannya, subsidi ditujukan untuk dua sektor yakni subsidi BBM-LPG dan subsidi listrik.
Untuk subsidi BBM dan LPG dianggarkan sebesar Rp 100,1 triliun, dengan penyaluran subsidi solar Rp 2000 per liter. Sementara untuk volumenya adalah; solar 14,5 juta KL, minyak tanah 610 ribu KL, LPG 6,9 juta KG.
Dalam rangka mengurangi beban subsidi LPG, alternatif percepatan program jargas dapat memberikan solusi yang lebih berkelanjutan, dibandingkan dengan upaya pemerintah untuk mengembangkan skema subsidi tertutup atau mengimpor LPG yang lebih murah dari Aljazair.
Skema gasifikasi batu bara pun menjadi harapan. Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, dirinya ingin mengumpulkan perusahaan batu bara untuk bicara tentang percepatan gasifikasi batu bara. Apalagi, menurut Jonan, jika gasifikasi batu bara serius dikerjakan, sebenarnya tidak memakan waktu lama, paling tidak 2-3 tahun.
"Orang bilang ribet memang, mesti ganti sekian komponen tungku tapi ya harus dilakukan. Kalau impor terus ya diketawain sih kita," tutur Jonan.
Soal gasifikasi batu bara ini juga sempat disinggung oleh Kementerian BUMN. Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno minta Pertamina lebih giat untuk mengembangkan coal gasification. "Pertamina dorong kerjasamanya jangan sampai hanya di MoU dan HoA saja, kalau bisa akhir tahun ini bangun coal gas di Peranap, Riau," sindirnya.
PTBA sempat memprediksi untuk kembangkan gasifikasi batu bara ini dibutuhkan kesiapan dana setidaknya US$ 10 miliar. Terakhir, PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk juga menjalin kerja sama dengan Air Products and Chemicals Inc, perusahaan berbasis di Amerika Serikat. Kerja sama itu dalam rangka meningkatkan nilai tambah batu bara Indonesia.
Kerja sama meliputi pengembangan gasifikasi batubara di Mulut Tambang Batubara Peranap, Riau untuk menjadi dimethylether (DME) dan syntheticnatural gas (SNG).
Dengan kerja sama itu, maka pabrik gasifikasi di Peranap diharapkan dapat mulai beroperasi pada 2022. Kapasitas pabrik yang akan didirikan memiliki kapasitas 400 ribu ton DME per tahun dan 50 mmscfd SNG. (gus)
https://www.cnbcindonesia.com/news/20181130171812-4-44489/impor-lpg-bikin-subsidi-bengkak-pemerintah-kebut-dmeBagikan Berita Ini
0 Response to "Impor LPG Bikin Subsidi Bengkak, Pemerintah Kebut DME News - CNBC Indonesia"
Post a Comment