Search

Beretorika tentang Kemiskinan

Beretorika tentang Kemiskinan
Oleh Achmad Deni Daruri | Sabtu, 29 September 2018 | 12:10

Narasi soal kemiskinan sudah mengemuka sebelum ditiupnya peluit dimulainya kontestasi untuk memperebutkan suara rakyat dalam pemilihan presiden 2019. Angka-angka tentang kemiskinan menjadi diskursus, baik dengan dukungan data yang bisa dipertanggungjawabkan maupun yang masih disangsikan kesahihannya.

Narasi soal kemiskinan ini juga dipaparkan oleh salah satu calon presiden yang maju dalam pilpres 2019, Prabowo Subianto. Prabowo mengklaim tingkat kemiskinan di Indonesia naik 50% dalam lima tahun terakhir.

Sementara itu, sejauh ini tidak ada satupun lembaga penelitian yang kredibel di tingkat dunia maupun asional yang pernah membuktikan bahwa angka kemiskinan yang diklaim Prabowo itu benar. Putra almarhum begawan ekonomi SumitroDjoyohadikusumo itu juga tidak memberikan klarifikasi lanjutan atas pernyataannya itu.

Tak berselang lama, Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menyampaikan pernyataan terkait angka kemiskinan 40% atau 100 juta angka di Indonesia juga sempat menuai pro kontra. Belakangan, SBY mengklarifikasi pernyataannya dengan mengatakan bahwa angka kemiskinan itu mengacu pada istilah “the bottom 40%” yang digunakan oleh World Bank Group, yaitu 40% penduduk “golongan bawah” di masing-masing negara.

Menurut dia, di negara berkembang dengan pendapatan perkapita yang belum tinggi, mereka termasuk kaum sangat miskin, kaum miskin, dan “di atas miskin” (near poor). Kelompok ini sangat rawan dan mudah terdampak jika ada kemerosotan ekonomi, terutama jika ada kenaikan harga, termasuk sembako.

Dengan mengacu data BPS, selama 10 tahun menjabat presiden, bersama Jusuf Kalla (2004-2009) dan Boediono (2009-2014), SBY memang berhasil menurunkan kemiskinan sebesar 6%, namun angka kemiskinan belum sampai mencapai satu digit.

Saat SBY pertama kali menjabat sebagai presiden pada 20 Oktober 2004, ia mewarisi angka kemiskinan sebesar 16,66% atau sekitar 36,15 juta penduduk miskin. Tahun 2006 bahkan sempay melonjak menjadi 17,8%. Sebulan menjelang SBY lengser pada 20 Oktober 2014, kemiskinan berada di level 10,96%.

Sebagai catatan, penurunan angka kemiskinan itu yang dicapai pemerintahan SBY itu terjadi pada saat didukung oleh harga komoditas ekspor yang sangat tinggi karena pertumbuhan ekonomi RRT yang selalu berada pada angka dua digit.

Sementara itu, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) berhasil mencapai angka kemiskinan satu digit, yaitu 9,82% (data BPS per Maret 2018) pada saat harga komoditas ekspor terjun bebas karena pertumbuhan RRT terpangkas pada kisaran 6% saja. Angka ini merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah Indonesia kemiskinan berada di level single  digit.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, dalam menghitung angka kemiskinan, BPS juga berpatokan pada metode yang digunakan Bank Dunia untuk menentukan garis kemiskinan. Mengenai definisi garis kemiskinan, tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp 354,386 dan garis kemiskinan terbaru adalah Rp 401.220 per kapita per bulan.

Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subjektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.

Kualitas pendidikan di Indonesia bisa menjadi salah satu kajiannya. Pada tahun 2012, Indonesia memiliki persentase pelajar dalam membaca pada tingkat pandai (level 5 dan 6) di nomor dua dari seluruh negara yang diobeservasi dengan nilai persentase 0,1% dari total pelajar, sementara yang berada pada tingkat bodoh mencapai 55,2% (di bawah level 2).

Pelajar sekolah dasar di Indonesia juga mengalami proses penurunan membaca dalam periode observasi tersebut dengan angka 0,4. Proses penurunan kemampuan dalam matematika terjadi hampir dua kali lebih buruk ketimbang membaca. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh PISA dari tahun 2003 hingga 2012, kinerja kemampuan matematika pelajar sekolah dasar Indonesia mengalami perlambatan.

Lebih jelasnya lihat OECD (2013) PISA 2012 Results: What Students Know and Can Do. Student Performance in Reading, Mathematics and Science (Volume I), Paris. Perlambatan artinya terjadi penurunan skor dalam nilai matematika dalam periode hampir sepuluh tahun. Ini menunjukkan pelajar tidak menunjukkan penambahan kepintaran dalam matematika. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut namun tidak dibarengi dengan peningkatan kemampuan pelajarnya dalam bidang matematika.

Sementara itu, sebagai perbandingan, pelajar sekolah dasar di Thailand menjadi lebih pintar dalam matematika dalam periode yang sama. Indonesia mengalami penurunan kualitas sebesar 0,7 dalam matematika dan di Thailand terjadi pemintaran sebesar 0,2.

Menurut PISA pada tahun 2012, dalam bidang sains pun Indonesia menempati posisi juru kunci dalam persentase pelajar yang mencapai pintar (level 5 dan 6) di bawah 0,1%, sedangkan yang sangat tidak pintar 66,6% (di bawah level 2). PISA juga meneliti perkembangan ini dari tahun 2006 hingga 2012.

Dalam periode ini pelajar sekolah dasar Indonesia mengalami proses penurunan kemampuan tahunan dengan nilai sebesar 1,9. Pelajar sekolah dasar Thailand selama periode ini mengalami proses pemintaran tahunan dalam bidang sains sebesar 3,9. Sebuah kemajuan yang spektakuler. Singapura juga mencatat skor 3,3.

Ironis, apalagi pada era ini anggaran pendidikan 20% dari APBN sudah mulai diberlakukan. Bagaimana Indonesia dapat bersaing dengan bangsa lain jika kualitas pendidikannya semakin buruk?

Kini, BPS telah memaparkan bhwa tingkat kemiskinan pada Maret 2018 merupakan yang terendah dalam sejarah dan kali pertama persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai satu digit. Mengingat grafik kemiskinan selalu berbentuk asimtotis, maka penurunan angka kemiskinan menunjukkan tingkat kesulitan yang berbeda setiap tahunnya dan cenderung pencapaiannya akan makin melambat di masa depan.

Kini, dengan semakin rendahnya angka kemiskinan, maka upaya penurunannya pun secara persentasi juga akan semakin sulit. Sebagai perbandingan, angka penurunan kemiskinan tahun 2004- 2009 turun 2,51% atau sebanyak 3,62 juta orang. Kemudian, 2009-2014 turun 2,90% atau sebanyak 4,25 juta, sedangkan 2014-2018 (Maret) turun 1,43% atau sebanyak 2,33 juta orang. Artinya, tren penurunan jumlah penduduk miskin secara riil cenderung turun, padahal tingkat kemiskinan secara relatif lebih rendah.

Grafik asimtostis menandakan bahwa angka kemiskinan tidak bisa menyentuh angka nol persen. Jika mengacu pada faktor-faktor yang dibeberkan BPS, penurunan jumlah penduduk miskin pada September 2017-Maret 2018 lebih banyak disebabkan program bantuan pemerintah. Langkah yang sama juga dilakukan oleh pemerintahan SBY dan Boediono.

Strategi ini sah saja dilakukan mengingat kebjakan fiskal merupakan kebijakan developmentalis. Dalam catatan BPS, yang mengakibatkan jumlah penduduk miskin berkurang pada September 2017-Maret 2018 antara lain melonjaknya bantuan sosial (bansos) tunai dari pemerintah sebesar 87,6% pada triwulan I-2018, dibanding triwulan I-2017 yang hanya tumbuh 3,39%.

Selain itu, program Beras Sejahtera (Rastra) dan Bantuan Pangan Non- Tunai (BPNT) telah tersalurkan sesuai jadwal. Dengan strategi ini maka pemerintah memang akan selalu dipaksa untuk peduli kepada penduduk miskin. Pemerintahan pasca reformasi umumnya melakukan langkah-langkah ini dan hanya pemerintahan Soeharto yang tidak peduli dengan langkah-langkah ini.

Jadi, berpegang pada variabelvariabel tersebut, benarkah jumlah penduduk miskin di negeri ini sudah sepenuhnya berkurang akibat kesejahteraan yang naik atau masih semu? Jawabannya, benar dan riil jika berdasarkan metode yang dilakukan oleh BPS. Jika dibuat metode lain justru akan menimbulkan kerancuan karena akan bersifat tidak apple to apple.

Oleh karena penurunan angka kemiskinan itu sebagian ditopang ‘uluran tangan’ pemerintah yang sifatnya temporer atau jangka pendek, maka bagaimana sebaiknya kebijakan pemerintah selanjutnya agar penduduk yang rentan miskin tidak jatuh miskin atau terentaskan dari jurang kemiskinan? Kebijakan ini harus disertai dengan upaya mencerdaskan masyarakat Indonesia agar dalam jangka panjang masyarakat Indonesia mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

Masih mengacu paparan BPS, angka kemiskinan masih sangat dipengaruhi harga pangan, terutama beras. Akibat kenaikan harga beras yang cukup tinggi, mencapai 8,57% pada September 2017-Maret 2018, penurunan angka kemiskinan tidak secepat periode sebelumnya dan juga diingat akan hambatan karena kurva k kemiskinan yang bersifat asimtotis.

Selama ini, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan lebih besar dibandingkan komoditas non makanan. Makanan berkontribusi 73,48%, naik dari sebelumnya 73,35%. Pada Maret 2017-September 2017, harga beras relatif stagnan. Jadi, kebijakan yang perlu diambil pemerintah adalah menjaga agar harga makanan tidak naik atau stabil, agar penduduk hampir miskin tidak akan rawan jatuh miskin kembali bila harga makanan naik.

Program stabilisasi harga pangan harus dilakukan secara efektif. Jika stabilisasi harga pangan dapat dilakukan secara efektif maka bukan hanya angka kemiskinan dapat diturunkan tetapi juga kebijakan industrialisasi dapat dijalankan secara efektif.

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa program pengentasan kemiskinan era Jokowi sudah pada jalur yang benar, dan angka-angka yang dicapai benar-benar riil dan nyata, yang dapat dinilai dari tidak adanya protes dari FAO, UNTCAD dan Bank Dunia, karena metode dan cara yang sama juga dilakukan oleh negara lain.

Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis

Let's block ads! (Why?)

http://id.beritasatu.com/home/beretorika-tentang-kemiskinan/180954

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Beretorika tentang Kemiskinan"

Post a Comment

Powered by Blogger.