Jakarta, Beritasatu.com - Suasana Ruang Suryo B. Sulisto (AEBC) di lantai 24, Menara Kadin, Jakarta dipenuhi para pendekar perumahan. Selain wajah-wajah pelaku bisnis properti, ruang itu juga diramaikan sejumlah jurnalis dari berbagai media massa.
Pentolan organisasi para pengembang properti bahu membahu dengan pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia tampak serius pada Selasa, 27 Agustus 2019 siang itu. Para jurnalis yang mendapat undangan tak kalah serius menyimak curahan hati pengembang properti yang mengaku tengah didera beban berat.
“Kami sangat prihatin dengan kondisi yang terjadi saat ini. Hal ini bisa mengancam keberlangsungan industri properti di Indonesia secara keseluruhan,” kata Hendro S Gondokusumo, wakil ketua umum Kadin Indonesia bidang Properti yang hadir di tengah-tengah para petinggi asosiasi pengembang. siang itu.
Kondisi apa yang merisaukan para pengembang?
Usut punya usut ternyata berkutat pada aliran dana subsidi kredit pemilikan rumah (KPR) berskema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang dinilai sudah tiris. Anggaran yang disediakan pemerintah melalui kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat (PUPR) sudah ludes padahal tahun 2019 belum saja berakhir. “Kami sudah mendeteksi kekurangan kuota FLPP sejak Juli 2019,” tutur Soelaeman ‘Eman’ Soemawinata, ketua umum DPP Real Estat Indonesia (REI).
Walau isyarat ludesnya FLPP diserap masyarakat kian menguat pada Juli 2019, namun Eman mengaku sudah menyurati Menteri PUPR sejak Juni 2019. “Kalau mengacu pada 2018, dana FLPP tahun 2019 kami rasa kurang dan ternyata benar. Dalam surat kami, tercantum permintaan agar FLPP 2019 setara dengan 130 ribu rumah,” sergah Eman.
Endang Kawidjaja, ketua umum Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) bahkan mengaku sudah menyampaikan kepada pemerintah perihal kekurangan kuota sejak awal 2019. “Kami berharap kuota FLPP bisa mencapai 200 ribu rumah pada 2020. Walau, kami dapat informasi, untuk 2020, pemerintah telah mematok besaran FLPP sebesar Rp 9 triliun atau setara 100 ribu unit,” tukas dia.
Para pengembang properti menegaskan bahwa saat ini, kuota FLPP 2019 telah habis. Dampaknya, para pengembang kesulitan untuk membangun hunian bersubsidi. Karena itu, penambahan kuota FLPP diperlukan untuk menjaga stabilitas industri properti Indonesia dan memastikan Program Sejuta Rumah (PSR) yang digulirkan pemerintah dapat tercapai pada 2019. Tahun ini, pemerintah menargetkan pembangunan 1,25 juta rumah.
Barkah Hidayat, ketua umum Pengembang Indonesia (PI) meminta angka kuota FLPP agar tidak ditentukan sepihak oleh pemerintah, namun berdasarkan data bersama seluruh organisasi.
Menurut Eman, langkah kementerian PUPR menata ulang para bank pelaksana penyalur FLPP belum berdampak besar bagi sektor properti. Bank pelaksana yang tidak berhasil menyalurkan dana FLPP, dialihkan kepada bank yang dinilai berhasil. “Itu pun hanya terkumpul 5.000 unit dan akan habis pada Agustus 2019,” kata Eman.
Kabar terakhir, kata ujar Herry Sulistyono, wakil sekjen REI, surat dari kementerian PUPR telah sampai ke kementerian keuangan. Kami harapkan kementerian keuangan dapat secepatnya mengambil keputusan untuk mengeluarkan tambahan kuota FLPP. “Paling tidak pada akhir Agustus atau awal September,” tegasnya.
Sementara itu, Barkah mengatakan, sebanyak 85% anggota PI adalah pengembang perumahan FLPP yang sangat rentan terhadap pergerakan pembiayaan konsumen. Jika pembiayaan terhambat, akan ada multiplier effect kestakeholder lain yaitu perbankan, kontraktor, vendor, dan akhirnya ke konsumen juga.
“Jangan lupa di belakang industri properti ada 174 industri ikutan yang juga mendorong perputaran roda perekonomian Indonesia mulai dari industri rumahan sampai industri berat. Jadi kondisi ini berbahaya jika dibiarkan tanpa ada solusi apa-apa,” jelas Setyo Maharso, ketua Komtap Kadin Indonesia Bidang Properti.
Menurut Hendro, ada tiga jenis industri yang bisa menggerakkan perekonomian rakyat secara massal. Pertama adalah infrastruktur, kedua adalah pariwisata, dan ketiga adalah properti.
“Ketiga jenis industri ini akan bisa masuk sampai ke pelosok Indonesia dan membangkitkan perekonomian secara masif. Jadi penting sekali bisa menjaga keberlangsungan industri properti agar stabil. Salah satunya dengan penambahan kuota FLPP ini,” katanya.
Aturan Hulu
Saat ini pemerintah dinilai terlalu banyak melakukan pengaturan hal-hal yang bersifat sangat teknis sehingga membuat gerak pengembang sangat sempit dan terbatas. “Kami adalah pengembang, bukan kontraktor. Pengembang mempunyai konsep dan kapasitas untuk mengembangkan sesuatu dari yang tiada menjadi ada, dari yang tidak bernilai menjadi bernilai,” jelas Joko Suranto, wakil ketua Umum Kadin Jawa Barat.
Sebaiknya, kata dia, pemerintah mengatur kebijakan di hulu saja. “Kami sebagai organisasi akan mengikuti kebijakan tersebut di hilir agar berjalan dengan baik,” tambah Joko.
Lalu, tambahnya, organisasi diajak bekerjasama untuk membuat parameter dan sistem rewards & punishmentsehingga meringankan beban pemerintah.
Dia mengatakan, anggota REI Jawa Barat merupakan wilayah penyumbang perumahan FLPP terbesar di Indonesia. Awal tahun 2019, REI Jawa Barat telah memberikan early warning kepada anggotanya bahwa kuotaFLPP mengecil dan kondisi perekonomian secara umum masih berat. “Untuk itu, semua anggota agar bersiap-siap melakukan perencanaan dengan hati-hati. Kami selalu mencari tahu sisa kuota FLPP yang ada di bank-bank di Jawa Barat dan 80% pembiayaan masih berasal dari BTN,” jelas Joko.
Dengan kondisi yang sangat tidak menentu, papar dia, seluruh pihak pasti waspada dan mencari survival strategy masing-masing. Untuk pengembang, segala bentuk pembangunan baru pasti dihentikan. Sementara perbankan pasti memiliki exit strategy sendiri. “Mungkin pihak perbankan akan mengembangkan produk baru yang mirip dengan FLPP walaupun tidak sama. Bagus jika bisa begini. Tujuannya agar bisa menjadi solusi bersama keluar dari permasalahan ini,” ujar Joko.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Saat Subsidi Perumahan Dianggap Masih Minim - BeritaSatu"
Post a Comment