Search

Pertumbuhan dan Kemiskinan

Oleh Dr Eko Setiobudi, SE, ME

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, realisasi pertumbuhan ekonomi secara kumulatif sampai September 2018 (kuartal III) sebesar 5,17 persen. Sedangkan kuartal II/2018 sebesar 5,27 persen. Artinya, ada penurunan sebesar 0,1 persen. Jawa berkontribusi 58,57 persen (tumbuh 5,74 persen), Sumatera berkontribusi 21,53 (tumbuh 4,72), Kalimantan 8,07 (tumbuh 3,45), dan Sulawesi 6,28 (tumbuh 6,74). Kemudian, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 3,04 (tumbuh minus 0,65), Maluku dan Papua 2,51 (tumbuh 6,87).

Dari data tersebut terlihat Jawa masih menjadi pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Artinya disparitas atau kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa masih cukup besar. Fakta ini menjadi kontraproduktif dengan data distribusi kemiskinan di berbagai daerah sampai Maret tahun 2018. BPS menyebutkan, jumlah penduduk Jawa 136,45 juta jiwa.

Angka kemiskinan Maret 2018 sebesar 8,94 persen. Jumlah penduduk miskin di Jawa (6 provinsi) sekitar 12,2 juta. Sementara itu, data total penduduk miskin 9,82 persen atau 25,95 juta orang. Dengan demikian, dapat dikatakan, setengah penduduk miskin tersebar di Jawa. Sedangkan, Indonesia Timur seperti Maluku dan Papua angka kemiskinannya 21,20 persen atau 1,3 juta orang dari total jumlah penduduk kedua tempat tersebut sekitar 6,17 juta jiwa.

Maka, terjadi paradoks. Di satu sisi Jawa penopang pertumbuhan ekonomi, sisi lain, juga penyumbang kemiskinan tertinggi. Berbagai studi menyebutkan, ada hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan penguranggan kemiskinan. Misalnya, Mankiw (1995), menyebutkan, dengan pertumbuhan ekonomi berarti terdapat peningkatan produksi. Ini menambah lapangan pekerjaan yang akhirnya mengurangi kemiskinan.

Sementara itu, Sukirno (1999) menyatakan, pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition), pertumbuhan tersebut efektif dalam mengurangi kemisknan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaknya menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk penduduk miskin (growth with equity).

Faktor-faktor

Dengan demikian, tergambar bahwa pertumbuhan ekonomi sampai saat ini belum memihak orang miskin. Untuk menjawab ini, harus melihat faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sampai kuartal III/2018.

Faktor penopang utama pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2018 konsumsi rumah tangga yang tumbuh 5,01 persen yoy di kuartal III 2018 atau dengan berkontribusi sebanyak 55,26 persesn terhadap PDB. Angka ini meningkat dibanding kuartal III 2017 sebesar 4,93 persen.

Sisi investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 6,96 persen atau berkontribusi 32,12 persen terhadap PDB. Konsumsi pemerintah tumbuh 6,28 persen atau berkontribusi 8,70 persen terhadap PDB. Kinerja ekspor tumbuh 7,52 berkontribusi 22,14 persen pada PDB. Namun, masih kalah dari pertumbuhan impor 14,08 persen yang membuat -22,81 persen pada PDB. Impor juga menyumbang defisit sehingga mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi.

Faktor lain, kontribusi pertumbuhan lapangan usaha khususnya industri pengolahan yang menyumbang 19,88 persen dari PDB. Kemudian industri batu bara dan pengilangan migas turun sebesar 1,63 persen. Kemudian, industri nonmigas naik 5,01 persen. Jasa Perusahaan berkontribusi 1,77 persen. Industri informasi dan komunikasi berperan 3,75 persen.

Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai komponen pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit yang melayani sektor rumah tangga (PK-LNRT) sebesar 8,54 persen. Angka ini kurang signifikan karena hanya menyumbang 1,19 persen terhadap PDB.

Dampak faktor-faktor tersebut pada penguranggan kesenjangan pendapatan (seperti investasi dan pertumbuhan lapangan usaha) kontribusinya cukup kecil dibanding faktor konsumsi. Maka, pemerintah harus fokus pada kebijakan yang dapat mendorong peningkatan pendapatan dari orang miskin melalui program memperbesar kesempatan-kesempatan berpartisipasi dalam pertumbuhan. Hasilnya memperbesar laju penurunan kemiskinan.

Sebut saja melalui kebijakan dan program pengendalian inflasi dalam rangka menjaga daya beli masyarakat. Ini khususnya di Jawa. Bauran kebijakan dalam rangka mengendalikan inflasi baik dari Kemenko Perekonomian, Kementerian Keuangan, BI maupun instansi-instansi lainnya akan cukup efektif mengurangi kemiskinan di Jawa.

Sementara itu, di luar Pulau Jawa, penurunan inflasi, penurunan harga beras serta program bansos pemerintah dirasakan kurang efektif membantu kontribusi orang miskin dalam pertumbuhan. Sebab pada dasarnya, penduduk luar Jawa termasuk di Maluku dan Papua, memiliki jenis pekerjaan ssebagai petani, pekebun serta nelayan. Hal ini memang tidak terpengaruh signifikan terhadap naik/turun inflasi, khususnya makanan pokok.

Kebijakan lain yang tidak boleh dilupakan mengenai dana desa (DD) harus ditempatkan sebagai instrumen fiskal bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan. DD menjadi salah satu instrumen menurunkan kemiskinan sekaligus mendongkrak daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah di lingkungan perdesaan.

Jika menilik ke belakang, terdapat tren kenaikan alokasi DD dalam postur APBN dari tahun ke tahun. Tahun 2015 jumlah DD 21,7 trilun rupiah. Berturut-turut naik: Tahun 2016 menjadi 49,6 triliun, 2017 mencapai 60 triliun, dan tahun ini masih sama sekitar 60 triliun dengan sasaran 74.958 desa.

Semenjak UU tentang Desa, kenaikan DD memang meningkat siginifikan. Sayang, tren penurunan angka kemiskinan perdesaan cukup kecil. Alhasil, banyak pihak mempertanyakan efektifitas DD baik secara peruntukan maupun pengunaannya yang dianggap tidak tepat sasaran sehingga kurang berdampak pada penguranggan angka kemiskinan.

Maka, fokus alokasi DD harus diarahkan pada pengembangan potensi ekonomi lokal dan pemanfaatan sumber daya alam serta lingkungan secara berkelanjutan. Harapannya, akan muncul spasial ekonomi desa dalam bentuk Klasterisasi perdesaan berbasis potensi. Di antaranya, desa wisata, pertanian, nelayan, serta klaster-klaster lain sesuai dengan potensi desa tersebut.

Jika ini mampu berjalan sinergis, bukan semata-mata menguranggi kemiskinan. Lebih hakiki, mendorong orang miskin untuk berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, ini akan menjawab keresahan publik dan pertumbuhan ekonomi berpihak kepada orang miskin. 

Penulis Dosen STIE Tribuana Bekasi

Let's block ads! (Why?)

http://www.koran-jakarta.com/pertumbuhan-dan-kemiskinan/

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Pertumbuhan dan Kemiskinan"

Post a Comment

Powered by Blogger.