
Meski demikian, mengutip riset terbaru dari ANZ, Senin (1/10/2018) konsumsi rumah tangga maupun investasi menunjukkan perlambatan pada Juli dan Agustus 2018. Hal ini mengindikasikan akselerasi pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2018 hanya bersifat one shot.
Ekspor juga kehilangan momentum. Pasca membukukan pertumbuhan dua digit di kuartal II-2018, ekspor hanya tumbuh 4,1% YoY pada Agustus.
Satu-satunya indikator yang tumbuh positif hanyalah kredit perbankan. Perkembangan di sektor ini nampaknya diakibatkan peningkatan kredit sebelum pengetatan kebijakan yang lebih ketat.
Meski demikian, tantangan utama bagi pertumbuhan ekonomi akan datang pada 2019. Dampak stabilisasi rupiah, termasuk pengetatan kebijakan fiskal dan moneter serta kenaikan bea impor untuk barang konsumsi, sudah ditransmisikan secara penuh ke sektor riil.
Hingga saat ini, suku bunga pinjaman dan deposito hanya naik secara marjinal dan sporadis, meski secara kumulatif suku bunga acuan sudah dikerek naik sebesar 150 basis poin (bps). Menurut ANZ, transmisi secara penuh akan memakan waktu 4-6 kuartal.
Sebagai tambahan, pemerintah juga sudah menunda proyek kelistrikan sebesar US$ 7 miliar, di mana tentunya akan membebani investasi.
Alhasil, ANZ merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi RI tahun 2019 ke angka 5% YoY dari semula 5,1% YoY. Sebagai informasi, proyeksi ini sudah mengasumsikan adanya dampak positif dari pengeluaran terkait pemilihan umum di tahun depan.
Sementara itu, keputusan pemerintah untuk meminimalisasi adanya perubahan di harga bahan bakar minyak (BBM) domestik akan menekan inflasi secara keseluruhan, dan kebalikannya akan memperkuat daya beli rumah tangga.
Perbedaan antara harga BBM global dan domestik akan ditanggung oleh pemerintah, dalam bentuk beban subsidi dan Badan Usaha Milik Negara/BUMN (dalam hal ini Pertamina). Kerugian yang ditanggung Pertamina akan cukup mengkhawatirkan. Kenaikan harga BBM domestik akan diperlukan jika harga minyak global terus menanjak.
Menurut pandangan ANZ, kenaikan ini nampaknya akan dieksekusi pasca pemilu presiden di April 2019. Hal ini kemudian akan mendorong inflasi lebih tinggi, dan akhirnya membebani daya beli rumah tangga.
Inflasi umum saat ini masih berada di dalam rentang target Bank Indonesia (BI) sebesar 2,5 - 4,5%, tapi akan merangkak naik ke batas atas target BI pada akhir 2019 menyusul naiknya harga BBM domestik.
Berikut ulasan lengkap tim riset CNBC Indonesia terkait hasil riset Asia Economic Outlook (khusus untuk segmen Indonesia) dari ANZ.
(NEXT)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "ANZ: Rugi Pertamina Talangi Subsidi BBM Akan Mengkhawatirkan"
Post a Comment