
Setiap harinya, Sukarsa hanya bekerja sebagai buruh tani. Dia mengaku tidak sanggup membayar biaya perawatan rumah sakit. Penghasilannya tidak cukup. “Saya orang tidak mampu. Lantas apa yang mau digunakan untuk bayar rumah sakit,” terang Sukarsa, saat diwawancarai di ruang ICU RSUD Abdoer Rahem, kemarin (28/6).
Menurut Ramli, paman Sukarsa, keadaan ekonomi keponakannya tersebut memang sangat memprihatinkan. Sedangkan biaya pengobatan sangat tinggi. “Dana yang diminta rumah sakit sekitar Rp. 20 juta. Bagaimana caranya bayar. Karena itu kami mengharap bagaimana SPM bapak Sukarsa dapat keluar,” jelasnya.
Namun sayangnya, kata Ramli, status Sukarsa dalam angka kemiskinan partisipan (AKP) masuk kategori hampir misikin. “Kalau persyaratannya untuk SPM kan harus warga miskin. Dia tertulis hampir miskin. Padahal, kenyataannya miskin,” jelasnya.
Buzairi, salah satu keluarga Sukarsa mengatakan, sebenarnya pihak keluarga dan desa sudah mengupayakan agar SPM pasien tersebut dapat keluar. Bahkan, dari desa sudah mengeluarkan surat klarifikasi perubahan data dari hampir miskin kepada miskin. “Namun setelah surat itu dibawa ke Bapedda, ternyata ditolak. Dengan alasan peraturan bupati,” jelasnya.
Salah satu petugas pelayanan SPM RSUD Abdoer Rahem, Hendri mengatakan, hingga kini pihak rumah sakit masih menunggu SPM keluar dari Dinas Sosial. “Hanya saja ada kesalahan pada AKP. Kami tinggal menunggu SPM dari Dinas Sosial. Jadi rumah sakit tetap melayani,” ucapnya.
Dikonformasi kepada Rahayu, Kasubid Kesejahteraan Bapedda Situbondo mengatakan, pihaknya tidak bisa menerima surat perubahan status kemiskinan dari desa. Sebab setiap data yang sudah masuk, tidak bisa dirubah lagi sesuai aturan Perbub nomr 3 tahun 2017.
“Kalaupun pak kades bilang klarifikasi salah, urusan dia salah. Karena di perbub jelas, bahwa semua kesalahan adalah tanggung jawab kades. Untuk solusinya, tanyakan kadesnya. Sampai menunggu penetapan berikutnya,” Jelasnya.
Rahayu menambahkan, kalau nanti sudah betul dan sesuai fakta, maka dapat dilayani. Namun pada periode berikutnya. “Aturan perbub dua klaster. Kalaupun klasternya itu salah, harusnya sudah diverifikasi desa. Karena melewati proses berjenjang. Dari Pendataan, pengumuan RT, RW, Dusun hingga Desa. Juga Masih ada masa sanggah dan berita acara musyawarah berjenjang. Kalau masih ada yang keliru, kesepakatannya berarti yang slaah. Bukan penetapan dari bupati,” ucapnya.
Wanita yang karib disapa Yayuk ini mengatakan, dirinya tidak bermaksud untuk lepas tangan. Namun semua sudah harus berjalan sesuai aturan.
“Aturannya dalah mutlak tanggung jawab kepala desa. Bapedda hanya mengawal dari jalannya pengumpulan datasampai terselesaikannya bentuk penetapan bupati. kemudian di masukkan ke dalam aplikasi,” tuturnya. (zul/pri)
(bw/mls/ics/JPR)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Warga Miskin tapi Tak Dapat SPM"
Post a Comment