Keberadaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat dimulai sejak 1980-an. Melalui PT Perkebunan Nasional (PTPN XIII), perusahaan pelat merah ini ditugasi pemerintah untuk mengembangkan lahan kelapa sawit dengan pola kerja sama dengan masyarakat lewat pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR).
Pola PIR berarti persiapan perkebunan mulai dari pembibitan hingga panen dilakukan oleh PTPN. Memasuki tahun ketiga, pengelolaan lahan sawit diberikan kepada masing-masing kepala keluarga. Hubungan masyarakat dengan perusahaan tetap terjalin karena hasil panen kelapa sawit harus dijual ke perusahaan.
Namun dalam perjalanannya, perkebunan rakyat atau yang dikenal dengan istilah plasma menghadapi permasalahan, antara lain konflik lahan dengan komunitas adat, perubahan pola hidup masyarakat adat yang komunal menjadi individual, hingga kehilangan hak mengelola hutan adat.
Investasi swasta yang masuk pada 1990-an membuat skema pemberian lahan semakin rumit. Ekspansi lahan yang dilakukan juga menimbulkan konflik dengan warga. Skema PIR tidak lagi menjadi obat mujarab pemberi kesejahteraan masyarakat Kalimantan Barat.
Hampir tiga dekade berlalu, perkebunan kelapa sawit masih belum berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat Kalimantan Barat. Alih-alih untung, petani sawit swadaya di Kalimantan Barat kini tersandung berbagai masalah seperti kawasan kebun dalam hutan, legalitas lahan, dan rendahnya produktivitas. Selain itu, konflik antara petani plasma dan perusahaan, harga jual sawit yang anjlok, hingga perbedaan harga jual antara petani mandiri dan plasma membuat situasi semakin pelik.
Hal itu yang dialami oleh Adrianus Adam Tekot, Kepala Adat Dayak Kanayatn atau Timanggung Binua Sungai Manur. Adrianus adalah peladang plasma yang tengah memperjuangkan lahan adat.
“459,21 hektare, luas tanah adat kami yang kini telah berubah menjadi perkebunan sawit. Dulu perusahaan hanya menggantinya sebesar Rp 175 ribu per hektare,” ujar Adrianus. Adrianus menambahkan, sejak saat itu pekerjaan masyarakat untuk mengelola hutan dan bergantung hidup dari hutan menjadi hilang.
Sengkarut sawit di Kalimantan Barat ini juga disoroti oleh Hendrikus Adam, Kepala Divisi Kajian, Dokumentasi, dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat. Perkembangan sawit di Kalimantan Barat menurut Hendikus juga menyalahi rencana tata ruang. “Kalau kita lihat, sebenarnya perencanaan perkebunan kelapa sawit di Kalbar yang tercantum pada rencana tata ruang wilayah 2005 hanya mengalokasikan 1,5 juta hektare hingga 2025. Namun saat ini izin yang diberikan sudah mencapai 4-5 juta hektare,” kata Hendrikus saat ditemui Katadata di Kantor Eksekutif Daerah Walhi di Tanjungpura, Pontianak 13 September 2019.
Terluas namun Termiskin
Data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2019) menyebutkan, Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan lahan perkebunan kelapa sawit terluas ketiga di Tanah Air. Dengan luas lahan 1,8 juta hektare, perkebunan kelapa sawit Kalimantan Barat hanya kalah luas dari Riau (3,4 juta hektare) dan Sumatera Utara (2,1 juta hektare).
Meski unggul di luasan perkebunan kelapa sawit, Kalimantan Barat tidak dapat dikatakan daerah kaya. Provinsi ini justru merupakan yang paling miskin dibanding wilayah lain di Kalimantan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2019, Kalimantan Barat memiliki angka kemiskinan mencapai 7,49 persen. Sementara Kalimantan Utara hanya sebesar 6,63 persen, Kalimantan Timur sebesar 5,94 persen, Kalimantan Tengah sebesar 4,98 persen, dan Kalimantan Selatan sebesar 4,55 persen.
Ironi kemiskinan di wilayah kaya sawit ini disoroti oleh Sutarmidji, Gubernur Kalimantan Barat. Pada saat ditemui tim Katadata di Pendopo Gubernur Kalimantan Barat 12 September 2019, Sutarmidji menyatakan Kalimantan Barat merupakan salah satu penghasil CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah) terbesar di Indonesia. Namun perkebunan sawit di Kalimantan Barat tidak berimbas langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Sutarmidji juga menyoroti perkebunan kelapa sawit tidak berkontribusi dalam pendapatan asli daerah. Selain itu, Sutarmidji menyatakan selama ini perkebunan kelapa sawit hanya menyumbang pajak bumi dan bangunan untuk daerah tingkat dua. Selebihnya, perkebunan kelapa sawit tidak memberi kontribusi langsung dan justru menjadi beban bagi pemerintah daerah. “Bahkan pemerintah provinsi membiayai perbaikan jalan yang rusak akibat angkutan sawit. Biayanya besar sekali, sampai ratusan miliar,” ungkap Sutarmidji.
Terkait masalah kemiskinan, Sutarmidji menekankan perlunya pemberian corporate social responsibility (CSR) oleh perusahaan sawit berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia seperti pelatihan kerja, perbaikan ruang kelas, dan peningkatan kualitas posyandu.
Perusahaan Sawit Bersedia Bekerja Sama
Menanggapi Gubernur Sutarmidji terkait perusahaan sawit yang belum mendorong kesejahteraan masyarakat, kelompok pengusaha sawit menyatakan siap mendukung pemerintah daerah. Idwar Hanis, Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalimantan Barat saat diwawancara Katadata menyatakan pemerintah dan perusahaan perlu duduk bersama untuk merumuskan program yang tepat.
“Terkait kesejahteraan masyarakat tentu perlu kita coba bersama rumuskan secara lebih sinergi. Supaya anggota kita juga bisa melihatnya sebagai program yang perlu kita dukung,” kata Idwar Hanis.
Idwar Hanis menjelaskan, salah satu cara meningkatkan pendapatan dari sektor sawit di Kalimantan Barat adalah hilirisasi. Menurutnya, pengembangan hilirisasi akan meningkatkan nilai tambah dan otomatis akan menaikkan pemasukan daerah..
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kalimantan Barat, Lumbung Sawit yang Masih Miskin - Katadata.co.id"
Post a Comment