KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konferensi tingkat tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang, mendatangkan angin segar bagi kondisi perekonomian global. Dua biduk yang selama ini berseteru yaitu Amerika Serikat (AS) dan China bertemu untuk membahas soal perang dagang.
Presiden AS Donald Trump menawarkan konsesi termasuk tidak ada tarif impor baru dan pelonggaran pembatasan bagi perusahaan teknologi China, Huawei. Sebaliknya, China setuju membeli produk pertanian AS yang tidak ditentukan dan kembali ke meja perundingan.
Angin segar yang berhembus itu turut meningkatkan asa para pelaku pasar. Bila ditilik, sejak hampir sepekan munculnya kabar tersebut ke permukaan, pasar modal beberapa negara di Asia menyambut riang dengan penguatan signifikan.
Indeks Nikkei 225 misalnya menguat sebesar 5,83%. Setelah Nikkei, indeks domestik Hong Kong yaitu Hang Seng juga menguat sebesar 2,30%. Indeks Shanghai Composite Index juga menunjukkan penguatan meski tipis yaitu sebesar 1,40%.
Lantas bagaimana dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)? Tercatat, selama sepekan IHSG menguat tipis di kisaran 0,62%. Kalau dilihat dari transaksi asing, dalam periode tersebut, asing mencatatkan jumlah beli bersih sebesar Rp 2,22 triliun. Jumlah itu baru yang tercatat di pasar regular. Sedangkan jumlah transaksi di pasar negosiasi dan tunai sebesar Rp 8,33 triliun. Sehingga bila di total, jumlah net foreign buy di semua pasar sebesar Rp 10,55 triliun.
Kepala Riset MNC Sekuritas Thendra Chrisnanda mengatakan, meski menguat, IHSG masih mencatatkan return terendah kedua setelah Malaysia yaitu sebesar 3,07%. Hal itu membuat potensi IHSG untuk menguat agak tertahan.
Plus, investor juga masih akan mencermati sentimen global yang dapat memegaruhi perekonomian domestik seperti harga minyak dunia dan harga emas. “Harga minyak yang menurun serta kenaikan harga emas ke level tertinggi dalam satu tahun mengindikasikan kekhawatiran perlambatan ekonomi global,” ujar Thendra kepada Kontan.co.id, Rabu (3/7).
Hal itu semakin dikuatkan oleh pemangkasan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Bank Dunia menjadi 5,1% dari asumsi sebelumnya yakni 5,2%. “Faktor tersebut tentu menjadi refleksi atas melambatnya earning korporasi untuk indeks domestik kita,” ujar Thendra.
Meski begitu, Analis Paramitra Alfa Sekuritas Kevin Juido mengatakan, pasar modal Indonesia masih menjadi salah satu pasar modal yang prospektif di Asia. Hal itu tampak dari peningkatan peringkat Indonesia oleh lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor's (S&P).
Kevin tak memungkiri bahwa masih ada katalis negatif yang bisa mengintai seperti suku bunga domestik. Untuk faktor suku bunga domestik, Kevin menilai Bank Indonesia agak berbeda dengan bank-bank sentral di negara lain. “BI ini agak moderat. Kepentingan mereka menjaga suku bunga adalah juga untuk menjaga nilai rupiah. Jadi dampak kurs kita yang akan coba dijaga,” kata Kevin.
Selain suku bunga, Kevin juga menggarisbawahi mengenai tensi perang dagang yang sewaktu-waktu bisa kembali memengaruhi ekonomi makro Indonesia terutama ke neraca dagang. Menurutnya saat ini, arah perang dagang belum terlalu jelas atau lebih mirip pada fase gencatan senjata saja.
“Ekspor dan impor kita bisa kena dampak kalau trade war kembali memanas. Ini berbeda dengan beberapa negara lain di Asia dimana kondisi ekspor dan impornya masih cukup kuat,” kata Kevin.
Selain faktor-faktor tersebut, Kevin juga tak memungkiri arah IHSG juga ditopang oleh kinerja emiten-emiten yang sahamnya masuk dalam kategori blue chip. Di kuartal I lalu, pertumbuhan kinerja emiten blue chip menurutnya agak luput dari ekspektasi para pelaku pasar. “Beberapa saham blue chip di sektor konsumer misalnya, tumbuh di luar ekspektasi pasar. Hal itu membuat investor agak menahan diri,” ujar Kevin.
Faktor pemilihan umum serta beberapa drama yang mengikuti setelahnya juga membuat IHSG tertahan bahkan sempat menurun. “Terbukti dari volume perdagangan yang tidak terlalu besar. Itu menunjukkan investor menahan diri sepanjang semester I lalu,” kata Kevin.
Lantas bagaimana proyeksi para analis untuk IHSG di sisa tahun 2019 ini bila dibanding pasar lain di Asia? Thendra mengatakan prospek IHSG masih akan dipengaruhi beberapa hal, antara lain stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS serta realisasi kinerja emiten di kuartal dua 2019.
“Secara pergerakan IHSG cenderung bergerak sideways dengan potensi penurunan yang wajar dalam satu bulan ke depan karena minimnya katalis positif serta kondisi pasar yang cenderung jenuh beli,” ujarnya.
Meski begitu, Thendra tak terlalu pesimistis. Potensi untuk IHSG melesat masih ada. “Tingginya pertumbuhan ROE di atas 10% pada tahun 2020 juga membuat pasar domestik masih menarik. Itu angka yang tinggi di Asia Pasifik,” ujar Thendra.
Sedangkan Kevin menggarisbawahi faktor domestik. Menurutnya, kebijakan pemerintahan baru ke depan dapat menjadi katalis yang menggerakkan IHSG. “Pelaku pasar akan melihat realisasi kebijakan serta susunan kabinet pemerintahan yang baru,” kata Kevin.
Editor: Wahyu Rahmawati
Editor: Wahyu Rahmawati
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Analis: Bursa saham Indonesia masih tetap prospektif di antara bursa Asia"
Post a Comment