Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menganggap hilangnya nilai jasa ekosistem sebesar Rp 185, 018 triliun akibat limbah residu PT Freeport Indonesia bukan sebagai kerugian atau potensi kerugian negara.
BPK juga menyatakan nilai tersebut tidak dicantumkan sebagai temuan atau rekomendasi dalam laporan lembaga tersebut. "Tidak ada kata-kata ‘merugikan’ dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Freeport,” ujar Auditor Utama Keuangan IV BPK Laode Nusriadi di Jakarta, Senin (22/10).
Sebelumnya santer diberitakan, BPK menemukan potensi kerugian negara senilai Rp 185,58 triliun akibat operasional PT Freeport Indonesia di Papua. Kerugian itu muncul karena sejumlah pelanggaran lingkungan oleh perusahaan pertambangan asal AS tersebut, di antaranya pembuangan limbah residu.
Menurut Laode Nusriadi, perhitungan hilangnya jasa ekosistem tersebut mengacu pada analisis perubahan tutupan lahan yang dilakukan Institut Pertanian Bogor (IPB) periode 1998-1990 dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) 2015-2016.
Analisis itu, kata Laode, kemudian dikutip BPK dalam LHP atas Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu Penerapan Kontrak Karya Freeport Indonesia Tahun Anggaran 2013-2015. LHP BPK menyatakan, perhitungan itu masih perlu didiskusikan lagi dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK).
“Itu sebabnya, BPK tidak mencantumkan nilai itu sebagai temuan maupun rekomendasi dalam laporan. Ada perubahan ekosistem akibat tailing atau pembuangan limbah. Tapi tidak ada kata-kata ‘merugikan’ dalam LHP Freeport,” tegas dia.
Baca juga: BPK Sebut Tak Ada Proyek Mangkrak di Era Jokowi-JK
Laode Nusriadi menjelaskan, di Indonesia hingga kini belum ada aturan tentang hilangnya jasa lingkungan atau ekosistem. Atas dasar itu pula, BPK telah menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyusun ketentuan perihal jasa lingkungan. "Atas rekomendasi BPK, pemerintah sedang menindaklanjutinya," tutur dia.
Laode mengungkapkan, BPK juga telah menyampaikan sejumlah rekomendasi mengenai lingkungan yang masih ditindaklanjuti manajemen Freeport Indonesia dan Kementerian LHK.
“Misalnya tentang penggunaan kawasan hutan lindung dalam kegiatan operasional Freeport Indonesia,” papar dia.
Laode Nusriadi menambahkan, dalam salah satu rekomendasi BPK, Freeport Indonesia menggunakan kawasan hutan lindung dalam kegiatan operasional, seluas minimal 4.535,93 hektare tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (PPKH).
“Itu bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 Jo UU Nomor 19 Tahun 2014 tentang Kehutanan,” ucap dia.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "BPK: Limbah Freeport Tak Rugikan Negara"
Post a Comment