Search

‘Kail’ CSR dan Kemiskinan

BANJARMASINPOST.CO.ID - SEBAGAI bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap lingkungan, Corporate Social Reponsibility (CSR) disusun untuk mengembangkan lingkungan sekitarnya melalui kegiatan sosial, yang ditekankan pada pendidikan dan lingkungan.

Di Banjarmasin, ada potensi yang sedemikian besar dari CSR bila benar-benar bisa memanfaatkan dan menyusun program yang tepat. Peluang pengembangan ekonomi umpamanya, bisa tumbuh sejalan dengan pertumbuhan perusahaan.

Hitung saja hasil yang dikumpulkan di 2017 dari 125 perusahaan, jumlahnya mencapai Rp 18 miliar (Banjarmasin Post, 7 Juni 2018). Bila benar-benar dikelola dan diarahkan, umpama untuk pengembangan UMKM, berapa banyak pengusaha baru yang bisa diberdayakan dengan uang sebesar itu. Apalagi Pemko Banjarmasin juga sedang memprogramkan mencetak 2.500 pengusaha baru.

Sayangnya CSR di kota ini belum dikoordinasikan secara baik, sehingga masih terjadi penumpukan. Ada temuan menarik dari Banjarmasin Corporate Social Reponsibility (BCSR) bahwa selama ini bantuan hanya terdistribusikan ke satu tempat. Nah karena terkonsentrasi ke satu objek, tak urung terjadi tumpang tindih bantuan.

Penumpukan tak hanya mengenai lokasi. Kemungkinan lain bila tidak dikordinasikan dengan baik juga bisa muncul penumpukan program. Jadi beberapa perusahaan membuat program yang sama, dengan pola berbeda.
Memang hal tersebut tidak menyalahi, tetapi asas pemerataan juga harus diperhatikan. Disamping itu, tanpa distribusi yang baik bisa menimbulkan keirian wilayah yang lain, yang tidak pernah mendapat bantuan. Justru hal seperti ini yang biasanya sensitif.

Secara adminsitratif temuan BCSR tersebut sebenarnya tak lepas dari minimnya kesadaran membuat laporan. Karena dari ke-125 perusahaan yang terdata, hanya 30 yang membuat laporan. Tak sampai 50 persen jumlah. Padahal bila rutin dibuat laporan, bisa dilakukan pemetaan mengenai jenis, lokasi dan program CSR untuk warga Banjarmasin.

Harus disadari pula bahwa CSR berbeda dengan charity atau sumbangan sosial. Karena CSR harus dijalankan berdasar program dengan memerhatikan kebutuhan dan keberlanjutan dalam program dalam jangka panjang. Sementara sumbangan sosial lebih bersifat sesaat dan berdampak sementara. Jadi secara sederhananya CSR memberi kail, bukan ikan.

Dengan jumlah dana CSR yang mencapai belasan miliar, sepertinya menjadi kontras dengan berita Banjarmasin Post di hari yang sama mengenai gelandangan pengemis (gepeng) musiman yang biasa hadir di saat Ramadan.

Memang, gepeng musiman tak semata terkait dengan masalah kemiskinan, namun juga mental. Tapi kembali ke pengertian awal bahwa CSR bukanlah memberi ikan, namun kail, rasanya cocok untuk ikut mengentaskan kemiskinan.

Sudah saatnya dibuat ‘kail’ yang bisa digunakan warga miskin untuk mencari ikan. Pendidikan dalam pengertian CSR juga bisa diarahkan untuk mendidik mereka mandiri dan tidak bergantung pada pemberian orang lain. Banyak program pemberdayaan yang bisa dikembangkan dengan angka belasan miliar.



Artikel ini telah tayang di banjarmasinpost.co.id dengan judul ‘Kail’ CSR dan Kemiskinan, http://banjarmasin.tribunnews.com/2018/06/08/kail-csr-dan-kemiskinan.

Editor: Elpianur Achmad 


Bagikan Berita Ini

0 Response to "‘Kail’ CSR dan Kemiskinan"

Post a Comment

Powered by Blogger.